Minggu, 28 September 2014

Dua Pelangi dalam Hidupku




 

17 November 2010

Pelangi di cakrawala senja, menebar cahaya penuh makna. Langit masih menyisakan tetesan air hujan, dari balik jendela kamar kumenatap, “kenapa ada pelangi?” tanyaku ketika kecil. Nenek mulai bercerita tentang legenda tujuh bidadari. Jika saja semua itu benar, maka akan kucari tujuh bidadari, maka akan kubawa selendang peri, agar kubisa terbang dengan kekuatan sihir, menembus kahyangan meraih bintang. Ah... itu dulu, kini yang kudengar. Pelangi ada karena biasan cahaya, seperti kata guruku di sekolah. Mana yang harus kupercaya? Cerita orang tua atau teori fisika? Aku tak peduli karena engkau tetap pelangi. Warna indahmu murni takkan terganti, takkan terjamah hingga zaman berubah.

“Kika, ayo masuk! Di luar dingin sayang,” teriak Nenek dari dalam. Dan Kika masih seperti biasa, memandang kagum pada pelangi di atas balkon rumah.
“Nanti, Nek! Kalau pelanginya sudah bobo.”
“Pelangi nggak bisa bobo, Kika!” ujarku tanpa mau tahu daya khayalnya mulai berimajinasi. Karena tak seharusnya anak kecil diberi mimpi indah dari sebuah dongeng, pada akhirnya mereka harus mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
“Isshh.. Kakak! Kalau nggak bobo nanti tujuh bidadarinya  gimana!?” serunya.
“Bidadari itu gak ada, Kika!” seruku lagi, teringat dengan dongeng waktu kecil yang mengubah semua mimpiku seketika.
“Ada!”
“Enggak!” aku gak mau kalah.
“Sssttt.. malah ngadon debat sama adek sendiri! Biarkan namanya juga masih anak-anak Vika!” Nenek menegur dari belakang. Aku masih menahan nada protes, rasanya menyenangkan membuat adik yang satu ini kehilangan mimpi. Aku tersenyum licik padanya. Dia kesal lalu menjulurkan lidahnya padaku!

Mejikuhibiniu,  menyimpan sejuta misteri, kualihkan pandangan keluar. Warnanya hampir memudar, karena langit senja lebih berkuasa untuk mengusirnya.

***

25 November 2010

Kapankah pelangi datang, setelah redanya hujan...
Begitupun gelap malam takkan tetap takkan diam, akan pergi digantikan pagi.
Ada tangis lalu ada tawa, ada manis di balik kecewa.
Begitulah biasanya habis duka datang suka, terimalah dengan hati yang rela...

Entah sejak kapan aku menyukai lirik lagu ini, mungkin juga karena aku menyukai suara dari dua penyanyi bersaudara ini, Gamal dan Audrey. Tapi, bukan itu point pentingnya karena dalam liriknya menyebut pelangi. Dan aku jatuh cinta pada pelangi.
“Vika!” seru Citra yang kedatangannya mengejutkanku. Aku menoleh ke arahnya, kulihat rambutnya yang hitam pekat, tergerai panjang berayun-ayun di bahunya.
“Huh.. hah..Yonan.. hmmm uhuk..uhuk...” masih dengan tersengal-sengal ia mengatur napasnya.
“Kenapa Yonan?”
“Dia sakit. Sekarang dirawat di Rumah Sakit!”
Tanpa banyak bertanya tentang sakit apa yang diderita Yonan aku langsung menghambur kemudian diikuti Citra dari belakang. Anak satu itu, kenapa dia gak pernah berbicara dengan apa yang dirasakannya. Sepanjang jalan aku hanya bisa termenung, mengingat setiap moment persahabatan kami.
“Kamu sakit apa, Yon?” tanyaku lirih di telinganya. Selang infusan telah mendandani dia dalam bentuk yang tak seperti biasanya. Mata sayu itu tampak sendu, namun bibirnya masih mencoba mengembangkan senyum. Mungkin senyum terakhir yang akan aku lihat setelah kulihat pelangi dari balik jendela rumah sakit.
“Pelanginya indah,” bisik Yonan lirih.
Aku menatap warna rainbow untuk yang kesekian kalinya. Indah, tapi tak seindah dulu, bahkan untuk saat ini pun masih lebih indah senyum Yonan padaku.
“Jika kita dewasa nanti, lulus SMA, kuliah, kerja, apakah kamu mau menikah denganku?” tanyanya tiba-tiba. Aku terdiam, aku baru kelas tiga SMA dan Yonan membicarakan pernikahan? Aku tak menjawab sepatah kata  pun saat itu, tapi aku mengangguk penuh keyakinan. Keyakinanku yang masih labil....

***

Maret, 2013

“Vika, lu mau ikut gak?” tanya Sonia mengagetkanku dari belakang.
“Hah? Kemana?”
“Galeri seni, hari ini ada pameran lukisan. Kebetulan gue dikasih dua tiket gratis. Gimana?” tanyanya.
“Ehmm.. aku nggak ngerti soal lukisan, coret-coret nggak jelas aja harganya bisa puluhan juta!”
“Yee.. ke galeri seni lukis nggak harus beli, kok! Dan nggak harus mengerti untuk menikmati!” ujarnya masih nggak mau kalah argumen denganku.
“Hmm.. Ok lah! Lagian hari ini aku nggak ada acara,” akhirnya aku mengalah, pada sorot mata yang setengah memaksa itu.
Setengah jam kemudian kami telah sampai di tempat, Sonia memarkirkan motor matic-nya di antara barisan kendaraan beroda dua yang lain. Baru di lima belas menit pertama, aku sudah cukup merasa jenuh dalam ruang penuh gambar yang terpampang di setiap dinding. Aku bukan pecinta seni lukis, jadi bagaimana bisa aku menyukai semua ini. Aku hampir menyerah, sebelum akhirnya kutemukan sesuatu yang unik di sudut galeri.
“Pelangi,” gumamku.
Tanpa kusadari aku menghampiri sebuah lukisan penuh warna, mejikuhibiniu. Aku menatap cukup lama, satu-satunya lukisan yang menarik perhatianku saat itu. Bahkan keberadaan Sonia pun aku gak peduli, entah di mana saat terakhir kami bersama. Sudah kukatakan berulang kali aku mencintai pelangi!
“Eheemmm,”
“Ehmm... ehhemm...,” seseorang berdeham di sampingku untuk yang kedua kalinya, membuatku kehilangan mood dalam menikmati maha karya yang luar biasa ini. Aku menoleh sesaat lalu lebih memilih mengamati lagi karya indah di hadapanku.
“Apa yang kamu lihat?” tanya seseorang yang berdeham tadi.
“Lukisan,” jawabku sekenanya.
“Maksud aku, apa makna dari lukisan yang kamu lihat?” tanyanya masih belum jera dengan sikap dinginku.
“Pelangi dengan warna yang indah,” sumpah aku bukan pecinta lukisan yang bisa mengetahui setiap makna dari garis yang terbentuk, dan aku bisa mati berdiri kalau pria ini masih bertanya tentang lukisan.
“Hanya itu?” tanyanya, aku mengangguk lalu ia tersenyum, entah apa arti di balik senyumnya? Menilaiku bodoh? Whatever! “Kamu suka pelangi?” tanyanya entah untuk yang keberapa kali, dan aku hanya menjawab dengan anggukan. “Tahu siapa orang pertama yang menjelaskan asal-usul pelangi secara tepat?” lagi-lagi ia bertanya. Dan tanpa mengeluarkan suara aku menggeleng.
“Rene Descartes, seorang ilmuwan dari Perancis yang menjelaskan keajaiban sinar matahari dan butiran air yang akhirnya membiaskan cahaya indah itu” terangnya, membuatku terpaksa harus menatapnya lebih lama. Gila! Aku benar-benar bisa gila! Ada cowok yang menyukai pelangi juga, bahkan mungkin dia tahu banyak tentang pelangi. Ia menatapku lalu mengulurkan tangannya. “Adi Putra,” ucapnya.
“Vika,” balasku sambil mengulurkan tangan.
“Eh, kamu yang melukis pelangi itu?” tanyaku ketika sadar di ujung paling bawah kutemukan simbol A.P dari kata Adi Putra.
“Pintar!” ujarnya.

Itu setahun lalu, pertemuan pertama di galeri telah mendekatkan jarak kami. Kecintaan kami pada satu hal yang sama membuatku merasa nyaman bercerita apapun dengannya. Satu tahun juga kami telah menjalin hubungan dalam status. Aku mencintainya lebih dari pelangi yang pernah kita nikmati bersama. Adi Putra, pelangi senjaku...

***

29 September, 2014

Menikahlah denganku!
Pagi ini aku menerima sms konyol entah dari siapa, sedikit mengerutkan kening saat kutatap nomer baru di kontak Hp ku. Pasti kerjaan orang iseng.
Menikahlah denganku!
Sms kedua kuterima saat jam makan siang di kantor, masih dari nomer yang tadi pagi. Kurang kerjaan!
Menikahlah denganku!
Untuk ketiga kalinya nomer asing ini meng-sms kalimat yang sama, dan membuatku kehabisan kesabaran.
Kamu siapa? Kalau berani datang saja ke rumah jangan lewat sms! balasku.
OK! Tunggu aku!
balasan dari nomer tak dikenal.

***

“Kak Vikaaaa... ada tamu tuh nyariin!” teriak Kika dari balik pintu.
Jam di dinding menunjukan jam 8 malam, jarang ada yang datang ke rumah jam segini kecuali kalau urusan penting dan biasanya mereka sms dulu. Karena Adi minggu ini sedang ada workshop di luar kota enggak mungkin dia. Aku menuruni derap anak tangga, lalu menjurus ke arah ruang tamu. Seseorang berdiri membelakangiku.
“Cari siapa?” tanyaku masih bingung dengan sosok pria yang dari perawakan pastinya bukan Adi. Ia membalikkan badannya, membuatku seakan mendapatkan bintang jatuh di tangan. Aku berteriak girang.
“Yooonnnaaaaaaannn!!!” teriakku sambil menghambur ke arahnya, aku memeluknya sahabat terbaikku. Lima tahun telah berlalu dan aku kehilangan kontak dengannya selama itu. Terakhir saat perpisahan kami di SMA, dia bilang akan kuliah ke luar negeri. Dan itu membuatku semakin bangga padanya, sekaligus mematahkan hatiku kala itu. Karena aku akan kehilangan banyak waktu berharga dengannya.
“Kapan kamu pulang?” akhirnya setelah aku melepaskan pelukan.
“Kemarin malam,” jawabnya penuh karisma. Ah, dia semakin dewasa dan tampan.
“Semalam? Terus kenapa baru datang sekarang? Bukannya kasih kabar!” aku ngedumel kesal padanya.
“Aku sudah kirim kabar,” jawabnya.
“Nggak ada!” seruku sambil manyun.
“Udah, aku sms tiga kali malah! Tapi baru dibalas barusan...” ucapnya.
“Apa?” aku mengingat sms yang masuk hari ini, hanya dari beberapa teman kerja yang nggak begitu penting. Lalu dari Adi, dan juga sms konyol dari seseorang tanpa nama. Tunggu, sms konyol?
“Kamu?” aku masih nggak percaya dengan dugaanku.
“Menikahlah denganku!” ujarnya. Aku tersenyum, dasar jail. Kelakuannya masih sama seperti dulu.
“Aku pulang karena merindukanmu, dan aku ke sini untuk menagih janjimu dulu. Jika kita dewasa nanti, lulus SMA, kuliah, kerja, apakah kamu mau menikah denganku?” ia mengulang ucapannya saat itu.
Aku tertegun, mengingat kembali kejadian 5 tahun lalu di rumah sakit. Aku enggak menyangka Yonan serius dengan ucapannya saat itu. Dan aku ingat, aku mengangguk penuh keyakinan, bahwa suatu saat aku akan menikah dengannya. Keyakinan yang sama kuatnya sebelum aku bertemu Adi. Yonan dialah pelangi pagi hariku...

Lalu, Adi? Ah, aku tak ingin kehilangan kedua-duanya... bisakah kudapatkan kedua pelangiku!?

***

Tidak ada komentar: