Sabtu, 13 September 2014

4 DETEKTIF






Eyang masih terduduk di atas kursi roda, bukti sisa perjuangannya dahulu melawan penjajah. Eyang menatap kosong ke arah pantai yang terbentang luas. Di setiap sisinya nyiur melambai-lambai tertiup angin. Deburan ombak memecah karang, angin menerpa rambutnya yang kian memutih. Guratan wajah tua itu menyunggingkan senyum, tapi senyum yang sulit untuk diartikan. Senyum bahagiakah karena negerinya kini telah merdeka? Atau senyum miris melihat kemerdekaan yang tak bisa ia rasakan? Terdengar alunan lagu dari anak-anak yang sedang bermain di depan halaman.

Nyiur hijau di tepi pantai
Siar-siur daunnya melambai...

“Eyang lihat bendera yang Aziz simpan di atas meja nggak?” tanya Aziz tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
“Bendera apa, Ziz?” tanya Eyang sambil mengingat-ingat.
“Bendera merah putih, buat upacara besok!” jawab Aziz yang mulai kebingungan.
Eyang mengerutkan kening, tampak berpikir keras. Akhirnya menggeleng, Aziz masih sibuk mencari di setiap sudut rumah.
“Ah, jangan-jangan Emak nih yang suka asal mindahin barang” Aziz mulai menggerutu.
“Memangnya besok ada upacara apa? uhuk...uhuk...,” tanya Eyang di sela batuknya.
“Kan besok 17 Agustus Eyang, hari kemerdekaan!” seru Aziz hampir membuat Eyang terjengkang dari kursi rodanya. Eyang hanya tertunduk, diam, kelu, menatap ke bawah kursi rodanya, kakinya tinggal sebelah... tapi tak pernah ada penyesalan.

“Aziz!” seru Ilo yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah diiringi oleh Zhe dan Julian.
“Ayo, kita latihan buat acara lomba dancer besok!” ucap Zhe tampak bersemangat dengan lomba dancer yang terdengar lebih keren daripada lomba joget. Mereka sudah beberapa kali latihan dari kemarin dengan ala boyband atau girlband  Korea yang lagi digandrungi ABG.
“Jangan sekarang, saya lagi sibuk!” kata Aziz yang masih bolak-balik masuk kamar.
“Sibuk apa?” tanya Ilo yang penasaran melihat Aziz dengan wajah yang tampak kusut.
“Mencari bendera... bendera yang dititipkan Pak RW untuk upacara besok hilang,” jawab Aziz dengan nada pasrah.
“Wah, jangan-jangan ada yang mau menyabotase pesta rakyat besok nih!?” tiba-tiba jiwa ke-detektif-an Ilo muncul.
Kasus ini haru diusut, mereka berempat berkumpul mencoba menelaah kasus yang terjadi. Dari awal cerita saat Aziz meletakkan bendera di atas meja sampai hilangnya bendera. Mereka mulai mengumpulkan informasi tentang siapa saja kemungkinan orang yang masuk ke dalam rumah.
“Eyang, ingat tidak siapa saja orang yang tadi masuk ke dalam rumah?” tanya Aziz segera melakukan pengumpulan saksi dan bukti.
“Ehhmmm... tadi ada Sabrina, Firdaus juga Pak Wiro” jawab Eyang sambil mengingat-ingat. Untuk soal ingatan jangan ditanya, meski Eyang sudah tua, tapi beliau masih mengingat kejadian 65 tahun lalu saat ia ikut berjuang membela negara.
“Ini mencurigakan, mereka tidak mungkin datang ke sini kalau tidak ada tujuan.” Ilo mulai mengeluarkan argumennya.
PLAAAAKKK! Tiba-tiba kepala Ilo ditimpuk oleh Zhe,
“Semua orang juga pasti tahu mereka datang ke sini karena ada tujuan tapi bukan berarti mencuri bendera. Lantas atas dasar apa mereka bertiga harus dicurigai?” tanya Zhe yang mulai geram dengan pendapat Ilo yang kadang berlebihan dalam mengungkap kasus.
“Hmmmm....” Ilo dan Aziz terdiam, selagi mereka berpikir tiba-tiba Julian berteriak.
“Hey, aku menemukan ini di teras depan,” Julian menghampiri lalu menyodorkan sandal jepit usang berwarna biru dengan ukuran nomor 42.
“Apa ini bisa dijadikan petunjuk?” tanya Julian lagi.
“Apa kamu mengenal sandal itu, Ziz?” tanya Ilo.
Setelah diperhatikan, rasanya Aziz tidak mengenal sandal itu. Sandal jepit usang tanpa pasangan, mungkin saja itu milik pelaku karena terburu-buru ia meninggalkan jejaknya di sini. Baiklah penyelidikan “4 Detektif” akan dimulai.

***

Dengan semangat mereka mulai menyusun strategi, orang pertama yang dicurigai Sabrina. Akhirnya mereka berempat segera menuju rumah Sabrina. Sabrina yang sedang menghias rumahnya dengan ornamen berwarna merah putih dikejutkan dengan kedatangan “4 Detektif” ini. Tanpa basa-basi mereka mulai menginterogasi Sabrina.
“Saudari Sabrina, kami mendengar bahwa tadi pagi kamu mendatangi rumah Aziz. Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Ilo dengan nada layaknya seorang detektif profesional.
“Oh, tadi aku membantu Emak membawakan makanan dan kue untuk panitia yang sibuk mempersiapkan lomba panjat pinang itu!” terang Sabrina sambil menunjuk sekumpulan pemuda yang tidak jauh dari depan rumahnya.
“Apa kamu melihat sesuatu di atas meja?” tanya Aziz.
“Tidak! cuma ada kue dan makanan itu saja” jawab Sabrina mencoba santai menghadapi detektif gadungan ini.
“Apa ada saksi yang menemanimu saat mengambil makanan dari atas meja?” Kali ini Ilo bersikap lebih tegas.
“Kalian pikir aku mencuri! Kalau kalian tidak percaya tanya saja sama Emak, lagipula tadi aku masuk berdua sama Emak dan keluar pun berdua lagi sama Emak. Saya hanya membantu Emak, eh malah dituduh macam-macam. Emang barang apa yang hilang?” tanya Sabrina akhirnya tidak bisa menahan emosinya.
“Maaf-maaf... baiklah kami pamit!” ujar Zhe yang sedari tadi sudah merasakan gelagat tidak nyaman. Sambil menarik tangan teman-temannya mereka pergi dari tempat itu.
“Berdasarkan pengamatan saya, Sabrina jujur. Lagipula kalau kita kembalikan pada barang bukti yang kita temukan. Pelakunya tidak mungkin Sabrina, lihat! Ini sandal jepit ukuran cowok. Dan nggak mungkin Sabrina memakai sandal jepit segede ini.” Akhirnya Julian mulai bermain dengan logikanya.
“Baiklah, berarti tinggal Kak Firdaus juga Pak Wiro!” jawab Aziz.
“Hati-hati, jangan sampai membuat orang merasa dituduh!” balas Zhe kali ini.

***

“Maaf, Kak Firdaus kami mengganggu, kami cuma mau bertanya. Tadi katanya Kak Firdaus datang ke rumah Aziz, memangnya ada perlu apa, Kak?” tanya Aziz kali ini lebih sopan, apalagi sebagai tuan rumah ia berhak bertanya dibanding yang lain.
“Oh, itu Ziz, Kakak minta bantuan Eyang supaya besok mau jadi tamu kehormatan di desa untuk mendapatkan piagam penghargaan sebagai pahlawan satu-satunya yang tersisa di desa ini. Dan Kakak juga berharap Eyang mau menceritakan kisah perjuangannya kepada anak-anak Karang Taruna sore ini, jadi kita semua tahu sejarah bukan sekedar dari teori tapi juga dari pahlawan dan saksi hidup” Jelas Firdaus yang memang cukup aktif sebagai Ketua Karang Taruna di desa ini, dan rasanya tidak mungkin juga Firdaus yang mengambil bendera.
“Ini sandal Kak Firdaus tertinggal di rumah Aziz ya?” tanya Ilo yang masih penasaran.
“Hah, tidak! Ini sandalnya masih saya pakai!” jawab Firdaus menunjukan sandal di kakinya.
Mentah lagi kecurigaan mereka, lagipula ternyata ukuran kaki Kak Firdaus tidak sesuai dengan sandal yang mereka temukan.

***

Orang terakhir yang harus mereka temui adalah Pak Wiro, saat sampai di rumah Pak Wiro Julian memerhatikan sandal yang ternyata ukurannya sama percis dengan yang mereka temukan di depan rumah Aziz.
“Maaf Pak mengganggu, tadi pagi Bapak ke rumah Aziz ya?” tanya Zhe kali ini.
“Oh, iya tadi pagi saya mau pinjam gergaji ke Eyang.”
“Lho, untuk apa Pak?” tanya Zhe lagi.
“Itu di belakang rumah ada pohon tumbang karena menghalangi jalan, jadi Bapak pinjem gergaji.” Terangnya.
“Kalau ini sandal Pak Wiro?” tanya Ilo.
“Wah, bukan, sandal saya itu yang berwarna merah sama sudah butut juga kahkahkah....” Pak Wiro tertawa setelah memerhatikan sandal jepit berwarna biru yang memang tampak usang.
“Oh, begitu Pak baiklah kami permisi!” ucap Aziz seraya berpamitan.
Dari ketiga tersangka ternyata tak ada seorang pun yang bisa dicurigai, alibi mereka kuat. Lalu bagaimana bendera itu bisa hilang, dan sebenarnya  sandal milik siapa ini?

***

Dengan langkah gontai akhirnya mereka kembali ke rumah Aziz.
“Aziz, kamu dari mana saja? Emak sudah siapkan makanan buat kalian, ayo makan dulu anak-anak!”
Mendapat suguhan dari Emak seperti mendapat hujan setelah kemarau panjang. Seharian ini otak mereka cukup penat dengan kasus yang belum juga terungkap, membuat mereka terus terjebak dalam pikiran masing-masing.
“Wah, kalian benar-benar lapar, ya? Memangnya kalian dari mana saja?” tanya Emak penasaran.
“Cari bendera yang hilang, Mak!” jawab Aziz masih dengan mulut penuh makanan.
“Bendera apa?” tanya Emak sambil mengerutkan keningnya.
“Bendera merah putih untuk upacara besok, Mak!” kali ini Ilo ikut menjawab.
“Oh, bendera yang itu bukan?” tanya Emak sambil menunjuk ke arah jemuran.
“Haaahhhh? Kok bisa ada di situ?!” semua berbicara berbarengan.
“Lho, bukannya tadi pagi kamu yang cuci terus jemur di sana ya, Ziz?” tanya Emak mencoba mengingatkan kejadian tadi pagi.
“Apaaa!!?” teriak Ilo, Zhe dan Julian.
Sambil mengingat-ingat kejadian tadi pagi, akhirnya Aziz tertawa “Kahkahkah... maaf teman-teman saya lupa, tadi pagi setelah saya simpan di atas meja terus terkena tumpahan susu, jadi saya cuci, terus saya lupa... kalau benderanya lagi di jemur”
“Aazzzziiiiiizzz!!!!!!” teriak yang lain geram.
“Lalu, ini sandal jepit punya siapa?” tanya Julian yang masih penasaran.
“Hey, itu sandal jepit Eyang, daritadi pagi Eyang cari ternyata kalian yang bawa, ya?” Eyang tampak sewot kali ini. Lagi-lagi Ilo, Zhe dan Julian memandang ke arah Aziz. Tadi, ditanya katanya tidak kenal sandal itu, tapi rupanya sandal itu punya Eyang.
GLEK!
“Maaf, teman-teman Aziz lupa!”
“Akkkkkhhh....!!!”
“Eh, tapi kenapa sandalnya cuma satu... kan biasanya sepasang?” Aziz menggaruk-garuk kepalanya.
“Azzzziiiiiizzzz.... Eyang kan cuma punya satu kaki!” Eyang mulai berteriak.

JLEEEEBBB!!!!
Begitulah akhir kisah “4 Detektif” yang mengungkap misteri hilangnya bendera, tidak ada barang hilang dan tidak ada pelaku yang ditemukan. Ini semua gara-gara Aziz yang memang pikunnya tidak ketulungan. 4 Detektif yang diprakarsai oleh ILO, AZIZ, JULIAN dan ZHE telah berakhir....

CASE CLOSED!

***

#Kyaaa... apaan sih Nae!? yang kek gini aja ditulis di blog!!!
So what??? just for fun guys. Happy reading!  best regard to Ilo, Aziz, Julian, Zhe dan Eyang Wiro di KBM #kahkahkah...

Tidak ada komentar: