Sabtu, 14 Mei 2016

Prompt#115 - Laba-laba Tak Bersayap




Dia berjalan perlahan mengitari taman. Di depannya ada kupu-kupu hinggap di salah satu kuncup berwarna merah darah. Warna favoritnya. Senyumnya terkembang, sehelai benang tipis ditambatkan pada ranting, membentuk sebuah pola yang tampak terencana. Ada kepuasan saat selesai mengerjakan tugasnya. Lelaki itu mendekat pelan, bersandar pada bilah pohon yang mulai lapuk. Sesekali dia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan atau kadang membuang napasnya dalam satu kali hentakan.

Dari berbagai tempat, dia selalu memilih taman bunga sebagai tempat persinggahannya. Karena di taman itu, dia bisa melihat warna merah lebih banyak lagi. Dari bunga yang bertebaran, dari orang yang lalu lalang, bahkan dari warna langit sore yang memodifikasi jingga. Tak ada kegiatan lain yang menarik baginya selain menyulam jaring, memandangi warna favoritnya, sambil mencuri pandang gerak-gerik kupu-kupu yang bersayap merah.

“Hey, apa kau tidak ada kerjaan lain selain memerhatikanku?” tanya kupu-kupu gerah.

Lelaki itu tertegun. Sial! Dia ketahuan. Kupu-kupu itu  bicara padanya, setelah sekian lama mengasingkan diri dari kenyataan.

“Jangan mendekat!” teriak lelaki itu, tapi sayang, dia terlambat. Kupu-kupu telah terperangkap dalam jaringnya.

“Kau yang menjeratku dengan jaring laba-labamu!”

“Kau baru saja terlahir dari kepompong, kan? Belajar saja terbang, sayapmu masih belum stabil,” ucapnya sambil membantu melepas jeratan pada kaki-kakinya.

“Tahu apa kau tentang terbang? Bahkan tubuhmu pun tak bersayap.”

Lelaki itu tergeming. Ada sesuatu yang dia lihat dari kupu-kupu. Ia memang cantik. Namun, satu hal yang disayangkan, umur kupu-kupu tak pernah bertahan lama. Dan dia menyadari betul akan hal itu. Percuma cantik jika tak bisa hidup lebih lama!

“Mau mengajariku terbang?” tanya lelaki itu.

“Lepaskan dulu aku dari jeratanmu!”

Pertemuan singkat itu membekas dalam benaknya. Bukan soal jerat pada jaring yang menjadi persoalan. Tapi lebih rumit dari itu, jatuh cinta. Kesukaannya pada warna merah memberi celah pada hatinya, sebuah perasaan yang tak seharusnya ada. Cinta kadang hadir dengan ketidakadilan, memberi secercah harapan lantas kandas di tengah jalan. Seharusnya pertemuan itu tidak pernah terjadi.

“Mudah saja bagiku, tapi bagaimana aku bisa lepas dari jeratmu?”

“Maksudmu?”

“Jeratan tanpa pola, jaring yang tak kasatmata itu lebih rumit daripada jaring laba-labaku.” Mariposa namanya, dalam sekali pandang getar itu hadir tak terkendali.

“Sini! Ulurkan tanganmu,” perintahnya.

Mereka terbang menjelajahi setiap sudut kota, menghabiskan waktu bersama, menjelang langit berubah jingga. Sayapnya kelelahan, mereka terjatuh dari ketinggian, berguling-guling hingga sayapnya koyak. Lelaki itu tak bersayap, dia hanya pintar memintal jaring sutra. Sutra yang akan ia persembahkan untuk Mariposa, kekasihnya yang hanya hidup sehari, tak lebih.

Peluh membanjiri tubuh Mariposa, rasa nyeri di sayapnya yang mudah rapuh tak berarti apa-apa. Dia bahagia. “Terima kasih, telah membuat hidupku yang sehari begitu istimewa. Entah di kehidupan selanjutnya, aku belum tentu bisa mengajakmu terbang lagi,” ucap Mariposa.

“Seharusnya aku tak memintamu untuk mengajakku terbang,” ujarnya menyesal.

Lelaki itu diajari terbang, tapi lupa bahwa dirinya tak bersayap. Cinta telah mematahkan hatinya. Kini, dia memintal jaring laba-laba bukan hanya sekadar tempat bernaung. Namun, memintal asa. Semoga di kelahiran selanjutnya, Mariposa membawakan sayap untuknya. Sayap yang bisa melambungkan cintanya lebih tinggi.

Mariposa, aku tetap menyulam jaring laba-laba, berharap engkau hadir dan terjerat lagi di dalamnya.

***


Cianjur, 15 Mei 2016

Tidak ada komentar: