Senin, 02 Mei 2016

PELEBAYA






By : Nanae Zha 

Engkau melihat gadis itu dengan tatapan jijik. Mukamu memerah saat mendengar desahan napasnya mulai tak beraturan, liuk tubuh seirama dengan erangan penuh napsu. Gadis itu masih belia, bahkan belum cukup umur untuk memiliki KTP. Namun, permainannya di atas ranjang sudah sangat profesional.

Seorang bapak gendut terengah-engah di bawah tubuhnya. Terimpit. Umurnya sudah lebih dari setengah abad. Engkau datang di saat yang tidak tepat, semestinya bisa lebih tahu waktu. Biarkan dia menyelesaikan tugasnya, mungkin setelah mendapat bayaran atas kerja kerasnya malam ini. Namun, engkau terlalu gerah sedang titah telah diterima.

Dalam hentakkan terakhir yang seharusnya menjadi puncak kenikmatan, engkau menariknya paksa. Tanpa memberinya aba-aba atau kesempatan merapikan diri sejenak. Gadis itu kaget. Berontak, menolak untuk ikut denganmu. Engkau tak peduli, bahkan tak memberinya kesempatan untuk berpakaian. Percuma! Bagimu berpakaian atau telanjang sama saja.

“Lepaskan!”

“Kau telah lama bersenang-senang bukan?” tanyamu sinis.

“Lantas? Kau tak pernah bisa menikmati kesenangan ini, jadi untuk apa mengganggu kami? Apa kau ingin bercinta denganku? Huh! Kau memang tak punya rasa cinta!”

Engkau berang, memasang wajah garang, tak ada kompromi bagimu. Malas beradu argumen apalagi mendengar segala racaunya tanpa tahu malu. Sekali bubut, gadis itu lunglai tak bernyawa. Si Om-om cuma bisa bengong, lalu kalut setelah ditinggalkan gadisnya dalam keadaan telanjang di dalam sebuah hotel berbintang.

***

Engkau datang sendiri, dengan jubah hitam yang membungkus hampir seluruh tubuhmu. Ada senjata khas kau pegang di tangan. Mulut komat-kamit seolah membaca mantra. Mungkin mantra penenang jiwa, agar jiwa-jiwa rapuh itu pasrah menghadap. Tak ada yang bisa melihat sorot matamu. Terlalu gelap, cekung ke dalam atau bahkan mungkin membulat. Siapa yang tahu di balik tabirmu?

“Sudah saatnya kita melawan!”

“Siapa yang bisa melawan kehadirannya?”

“Kita! Makanya kita harus bersatu!”

Suara-suara itu cukup jelas kau dengar. Engkau diam tanpa reaksi, tetap tenang meski tak ada yang melihat raut ketenangan atau ketegangan di wajahmu. Tertutup tirai kelabu. Entah apa yang kau tunggu. Kemudian orang-orang berkata bahwa kau tak punya hati, tiada cinta pun rasa manusiawi.

Demo orang-orang yang menolak kehadiranmu semakin besar. Suara-suara semakin terdengar panas di telinga. Pagi, siang, malam engkau belum juga bosan, membiarkan ocehan itu mengendap seiring waktu.

“Bubarkan! Bubarkan! Bubarkan!”

Ternyata kau salah. Lihatlah! Jajaran tubuh-tubuh tangguh yang rela kedinginan saat hujan, kepanasan di tengah terik matahari. Malah jumlahnya semakin bertambah. Setiap hari teriakan mereka semakin lantang.

“Apakah dia akan mendengar kita?” tanya salah seorang pendemo.

“Dia pasti dengar.”

“Bagaimana kalau dia tidak mendengar?”

“Dia harus dengar!”

“Bagaimana kalau tidak?” Si pendemo keukeuh.

“Tuhan pasti mendengar.”

“Tapi dia kaki-tangan Tuhan.” Keduanya terdiam.

Inilah zaman ketika tabir mulai menipis. Tak ada sekat antara dua dunia, ketika manusia semakin lantang dalam bicara dan bertindak. Namun, mengindahkan adat, agama, dan logika. Mereka lebih suka menyebutmu pelebaya. Makhluk tak punya hati kata mereka. Mengapa engkau dibenci? Atas dasar apa mereka memintamu pergi?

***

Engkau selalu hadir tak terduga. Di pagi buta, terang benderang, bahkan gelap gulita tak ada waktu dan tempat yang membuat langkahmu surut. Seperti malam itu, engkau datang, lelaki tua sedang menggelar sajadah.

Hanya terpaku memerhatikan ritualnya sampai selesai, tak mengganggu. Selama itu menunggu dengan sabar. Wajahmu begitu teduh menatap lelaki tua, seperti wajah seorang anak yang merindukan ayahnya. Engkau ingin mendekapnya dalam pelukmu, hangat memberinya ketenangan dan kenyamanan di dada. Biji-biji tasbih bergulir di tangannya. Engkau masih berdiri di sudut kamar.

Seperti telah melihat kedatanganmu, dia menoleh lantas melambaikan tangan. “Aku sudah menunggumu. Kemarilah!” ucap lelaki tua.

Engkau beringsut mendekati. Tak banyak bicara, namun sinar matamu menjanjikan sebuah kedamaian di sana. Lelaki tua tersenyum. Kali ini engkau hadir dengan ribuan cahaya di tubuhmu. Berpendar mengisi ruangan. Malam yang sekiranya bisa disaksikan ribuan mata, maka akan menjadi malam terindah tanpa perlu sinar lampu.

Dia merebah pasrah. Kau membimbingnya, bahkan membiarkan dia untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Perlahan dia menyeka keringat di dahinya, mungkin tampak gugup berhadapan denganmu.

“Apa kau takut?” tanyamu.

“Bagaimana aku bisa takut setelah melihat sinar di matamu?”

“Aku hanya akan membawamu ke tempat yang lebih baik. Dunia ini terlalu sumpek untukmu, bukan?” tanyamu lagi.

Lelaki tua mengangguk setuju, dia terlalu baik untuk terus menghadapi kerasnya dunia. Engkau pernah mendengar bahwa kebanyakan dari manusia ingin abadi, bahkan sempat menyalahkan leluhurnya karena begitu mudah terkena bujuk rayu. Kini mereka meminta hak, setelah terusir dari surga setidaknya berikan keabadian di dunia. Mungkin itu sebabnya mereka membencimu, karena kehadiranmu hanya menggagalkan keinginan. Sialnya! Engkau tak mudah goyah oleh uang dan wanita.

Bukan rahasia, engkau lebih senang mengajak orang-orang baik terlebih dahulu daripada orang jahat. Tak ada yang bisa mengalahkan karena tugasmu bukan sebagai pelebaya semata. Makhluk suci yang dimuliakan, terbuat dari cahaya kemilau. Kemunculanmu bisa begitu anggun, namun di lain waktu engkau datang dengan wajah garang. Tergantung seberapa banyak kadar iman seseorang. Tak peduli orang memanggilmu apa, yang pasti namamu bersembunyi di balik tabir Tuhan.

“Kumohon cabut nyawaku segera!” ujar lelaki tua.

***

Catatan Mei, 2016

Tidak ada komentar: