Sabtu, 14 Februari 2015

Memilikimu, Bukanlah Kesalahan!





Oleh : Nanae Zha


Jika ada alasan untuk membenci ibu, apakah tidak ada alasan untuk mencintainya? Cinta, tak hanya bagi yang sempurna ...


Setiap inci lorong yang dilewati terasa begitu menyakitkan. Orang lain enggak pernah tahu, aku selalu mengumpulkan kekuatan untuk singgah ke tempat ini. Seperti biasa, satu buket bunga di tangan. Jantung dag dig dug tak karuan, padahal untuk kesekian kalinya berkunjung ke sini. Aku sudah berjanji akan datang hari ini padanya, beserta seseorang yang kucintai. Luki, beruntungnya aku mengenal dia. Semoga kali ini, ia orang yang tepat bisa menerima apa adanya.
“Akan ada banyak pria yang kamu suka di depan sana, tapi hanya orang yang berjiwa besar akan menjadi pendampingmu kelak. Jangan sampai memilih orang yang salah.”
“Maksud Mama, orang yang salah seperti Papa? Aku juga tidak mau mengulangi nasib Mama yang ditinggalkan suami demi memilih wanita lain!” kataku yang jelas sekali menyakiti hati mama karena kulihat air mukanya berubah seketika.
Mama jadi pendiam, selalu menyalahkan diri sendiri yang enggak becus mengurus suami. Terkadang sangat sensitif dan emosional. Aku kehilangan mama yang dulu, bijak,  dan penuh kasih sayang. Sejak saat itu, lebih dari lima tahun yang lalu, tak berani lagi kubahas tentang Papa.

Di ruangan yang serba minimalis, namun membuatnya cukup nyaman berada di sana. Kutaruh bunga dalam vas. Luki, tampaknya ia kesulitan menyesuaikan diri, mungkin lebih tepat sulit menerima kenyataan.
Aku menghela napas panjang, mengingat kejadian satu tahun lalu tidak berjalan dengan baik. Kutatap lekat pria yang berdiri di balik pintu. Ada bersit kecewa di wajah, dan sudah bisa kuduga. Seperti sebelumnya, mendengar kata yang sama berkali-kali dari pria yang berbeda.
            “Maaf, Rin ... aku enggak bisa.” Sudah cukup kebal mendengar ucapan itu, semua terasa biasa. Luki, pria yang dicintai pun melangkah pergi, pupus sudah harapan. Ternyata aku masih kurang beruntung.

“Jangan ditutup!” Aku tersentak. “Sebentar lagi Papa kamu pulang,” kata mama, aku hanya bisa terdiam, kuhapus bulir bening yang terlanjur meluncur di pipi. “Papa pergi, Rin ... dia tidak akan pulang ....”
Gumamam berubah menjadi isakan, lalu ia mengikik kecil hingga tertawa lebar. Terkadang disambung dengan raungan histeris sambil menimang-nimang boneka di tangannya. Ah, Mama ... kenapa harus berakhir seperti ini?
“Mereka tidak bisa menerimaku karena kondisimu. Tapi, memilikimu bukanlah sebuah kesalahan. Demi alasan apapun takkan pernah kutinggalkan Mama. Jika, nasib tak mempertemukan dengan cinta tak apa, asal tidak kehilangan cintamu. Saatnya membalas semua pengabdian, meski tak bisa terbayar lunas. I love you, Ma.”

***



Tidak ada komentar: