Selasa, 19 Agustus 2014

Pesan Hujan di Hari Kemenangan






Bapak  berkata, “Aku mencintai hujan karena ia mampu menggantikan gersang.”
Tapi aku bilang, “Aku benci hujan karena ia merenggut sinar kebahagiaan.”


Di sudut gelap aku terbangun, menatap tetesan embun yang membasahi dinding kaca jendela kamar, sisa hujan tadi malam. Ada rasa damai yang kurasa meski kegamangan mulai menggeliat di hati. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang penuh kehangatan, kini yang tersisa hanya rasa hambar dan dingin menyelimuti dinding hati. Aku kesepian, takada teman berbagi untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan ini. Atau seseorang yang akan membangunkan untuk sahur. Kugapai segelas air di atas meja, kureguk untuk memenuhi rongga dada karena aku yakin hari ini takada lauk untuk sahur. Kuambil air wudhu, lalu mulai melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menunggu waktu adzan subuh. Aku rindu Ibu dan Bapak... air mata menetes di pipi, rasa sesak menyerang dada. Rindu ini sungguh menyiksa, aku rindu masakan Ibu, rindu omelannya saat membangunkanku. Itu dulu setahun lalu... saat aku mulai berteriak padanya,
“Berisiiikkk!”
Ia terdiam melihatku mulai berontak, ia tahu aku malas jika disuruh. Terkadang bukan tak mendengar panggilannya, tapi  kulakukan dengan sengaja pura-pura tak mendengarnya. Aku  tahu aku telah menyakiti hatinya, tapi tak peduli seolah tak terjadi apapun atau mungkin tepatnya aku merasa tak berdosa. Setelah itu teriakan yang sama terjadi lagi, lagi dan lagi... terkadang aku mengeluarkan kata yang lebih pedas dari itu.
“Goblok! Aku gak suka tempe! Tapi kamu malah sengaja masak makanan yang aku nggak suka!”

“Goblok!” entah berapa puluh kali kata itu kulontarkan padanya dan aku memanggilnya,“kamu...” untuk nama seorang Ibu. Ia menangis, aku melempar piring tepat di hadapannya, pecahan piring itu mengenai kakinya, dia meringis dan aku masih tidak peduli. Di ujung bibirku masih tersungging senyum kemenangan.
Malam itu aku nggak bisa tidur, suara batuk wanita tua itu terus mengganggu. Aku jenuh, bangun dari ranjang, kubuka kasar pintu kamarnya.
“Bisakah kau tahan batukmu sampai besok pagi? Aku gak bisa tidur gara-gara kamu!” teriakku.
“Maaf...,” ia menjawab lirih. Aku keluar dan membanting pintu kamarnya, entah bagaimana cara dia menyumpal mulutnya hingga suara batuk itu taksampai ke telinga. Aku pun tidur nyenyak...

~o~

Aku berhenti sekolah, padahal ibu bekerja keras untuk membiayaiku, mulai dari berdagang gorengan hingga jadi babu di tetangga. Ia sisihkan setiap hasil keringatnya. Aku ingat saat itu, Ibu menunggu di depan pagar, ditangannya ia memegang payung, wajah tua yang tampak lelah dan khawatir. Namun, saat melihatku ia tersenyum lalu menyambutku, tapi aku tepiskan tangannya hingga payung terjatuh dan kubiarkan ia kehujanan. Entah berapa lama ia tergugu di sana....
Dan aku masih menganggapnya tak peduli karena tak mampu membelikan PS. Saat SMP, aku mulai minta BB dan kini menginjak SMA merengek minta dibelikan motor, tanpa motor aku takkan sekolah. Akhirnya aku benar-benar memberandal, jadi anak jalanan, ikut ngamen sana-sini, sampai saat itu tiba.....
Di lampu merah itu kejadiannya sangat cepat yang aku ingat seorang pengendara sepeda motor ugal-ugalan dan ia menabrakku. Aku jatuh, tersungkur dan tak ingat apapun. Saat aku membuka mata, wanita tua itu sedang bersimpuh, menangis, menengadahkan tangan dan berdoa untukku.

~o~

Bulan Ramadhan bulan seribu bulan, tapi tidak tampak cahaya bulan, hari terus dipenuhi buliran air dari langit, hanya ada gelap dan lembap...
“Ibu! Mana makan malamku?” teriakku, tapi takada jawaban. Seperti biasa aku kehabisan kesabaran, mulai berang. Kugedor pintu kamarnya, tapi masih belum ada jawaban, akhirnya aku mendobrak kamar yang mulai lapuk itu tak perlu tenaga ekstra, pintu pun terbuka lebar. Wanita tua itu tertidur di atas sajadah, masih mengenakan mukena. Ia meringkuk mungkin karena kelelahan setelah seharian kehujanan, berkeliling menjajakan gorengan dan masih saja gorengan itu bersisa banyak. Kugoyang-goyangkan tubuhnya, tapi ia bergeming, kubalikkan badannya, wajah pucat, dingin tapi bercahaya, di tangannya ia memegang foto. Iya, itu fotoku selagi masih kanak bersama bapak. Saat itu Bapak cerita, ia suka dengan hujan karena hujan mampu menggantikan gersang..., tapi aku tak pernah mengerti kata-katanya.
Ibu wanita yang sabar, banyak doa terucap untukku, tapi mengapa Tuhan tak mengabulkan doanya? Dia selalu berdoa agar aku menjadi anak yang baik, nyatanya sampai saat ini aku tak berubah sedikit pun malah semakin menjadi. Suara guntur menjawab pertanyaan yang takbisa kuartikan. Ibu tak bergerak, tak bernapas, aku terperenyak, takut kehilangan dia, seperti Bapak yang meninggalkanku dulu...
Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Laailahaillallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamdu....

Gema takbir bersahutan, ini hari kemenangan kah? Kemenangan untuk ibu yang telah terlepas dari jeratanku! Ia damai,bahagia, dan aku duduk bergetar....
“Maafkan aku Ibu”

***

Kini, aku mengerti filosofi hujan, hidupku kini telah gersang, aku mengharapkan kemenanganku malam ini juga Tuhan. Lepaskan aku dari belenggu setan dan napsu duniawi. Di bulan suci penuh ampunan terimalah hamba di sisi-Mu. Hujan mengguyur bumi, lagi-lagi suara alam yang membalasnya, aku terlelap, masih mendekap Al-Quran di dada. Di ujung jalan itu, kulihat sebuah cahaya, di sana Ibu dan Bapak menunggu dengan bibir membentuk bulan sabit...

***

THE END

Tidak ada komentar: