Sabtu, 23 Agustus 2014

Senyuman Hamba Sahaya (Demi Emak, Bapak dan Adik Tercinta...)


Hari itu, pertama kalinya meninggalkan orang terkasih dengan mata berembun. Namun, butir kristal bening mampu kubendung di hadapan mereka. Sejenak, berusaha mengembangkan bibir membentuk bulan sabit, diiringi doa restu langkah semakin mantap. Demi keluarga tercinta, rela melewati samudera, jalanan terjal dan berliku menuju “surga BMI” begitulah orang menyebutnya.
Kini, satu tahun telah berlalu, mereka yang terkasih tak pernah tahu. Dan berharap mereka tak usah tahu akan segala duka dan luka. Aku harus bertahan menghadapi Nyonya pelit dan Tuan yang tak berhenti menggoda. Malam yang menyiksa, Nyonya pergi setelah menerima undangan dari temannya. Kutelan sesuap nasi yang bukan selera, hambar tanpa rempah-rempah alami Nusantara. Tak ternyana, lengan perkasa itu menarik, aku menjerit, meronta dan kesakitan.
“Apa yang Tuan lakukan?” teriakku, ia makin beringas, di hati tak berhenti menyebut nama Tuhan. Saat itu, tebersit lagi senyum kedua orang tua, mencoba bertahan meski harus menelan kutukan seluruh mata dunia.
Tidak! Aku tak boleh lemah dan menyerah begitu saja. Bukan seperti ini tujuan perjalanan para TKW, kami datang untuk bekerja, menjual tenaga bukan untuk menjual diri! Tekadku. Dengan susah payah berhasil menggapai buku yang berjajar di atas rak. Buku yang cukup tebal, kulayangkan tepat di pelipis mata. Ia mengerang sambil menutup matanya yang mulai berair. Kugunakan kesempatan itu berlari ke dalam kamar, mengunci sampai akhirnya Nyonya pulang. Malam itu aku selamat, pelajaran pertama dan selanjutnya tak akan kubiarkan majikan berlaku sewenang-wenang. Setiap kali Nyonya pergi pintu kamar dikunci, tak peduli Tuan mata keranjang itu berteriak bahkan sampai menggedor pintu kamar.

***

Aku menyusuri jalanan sepanjang Victoria Park, di sanalah keluarga kedua saling berbagi kisah. Tempat berkumpulnya BMI-HK, aku bercerita agar yang lain bisa lebih mawas diri. Sore itu sebelum pulang, Nisa menghampiri dengan tersedu lalu menuturkan tentang semua yang dialami, lagi-lagi perkosaan, wanita selalu jadi bahan eksploitasi birahi. Lebam di leher, tangan dan sekujur tubuh yang ia perlihatkan menjadi bukti atas sebuah penindasan.
“Kita ke Rumah Sakit, aku ingin semua lukamu divisum. Setelah bukti medis selesai, aku yang akan bicara.”
“Tidak! mohon mengertilah, aku tak berdaya ketika teringat wajah orang tua. Jika bicara, pasti akan dipecat, lalu harus membayar denda atau mungkin berhubungan dengan pihak hukum dan segala tektek bengeknya. Semua media menyiarkan, mungkin keluarga di Indonesia mendengar dari berita koran atau di layar televisi, maka hal itu akan melukai hati mereka” terang Nisa.
Aku mengerti perasaannya, terlalu banyak rasa takut yang ia miliki bukan hanya tentang dirinya bahkan tentang nama baik keluarga. Tapi, kebatilan tak bisa dibiarkan. Di sinilah aku berada, untuk inilah BMI HK didirikan, membantu mereka yang teraniaya.
“Ini bukan hanya tentangmu, Nis, tapi ratusan wanita yang mungkin bernasib sama! Manusia memiliki hak asasi sama, jangan karena kita pembantu lalu kita bisa diperlakukan dengan semena-mena!”
“Tapi, ini aib bagi keluargaku, Eyput!”
“Dan ini aib bagi BMI HK yang tak bisa memperjuangkanmu, Nis! Kami ada untuk orang-orang seperti kamu yang tertindas. Jika bukan kita lalu siapa lagi yang akan mengubah hidup dan masa depan kita? Jangan karena kamu takut dipecat, lantas kamu pikir keluarga kamu gak bisa makan? Atau kamu akan menjadi bahan gunjingan orang? Ingat Tuhan Nis, semua rizki ada yang mengatur dan peduli apa tentang orang-orang yang merasa dirinya suci? Kita bukan menjual kesucian dan harga diri, tapi tenaga. Jika kita mengalami penyiksaan dan luka perih, itu salah satu ujian Tuhan. Apakah kita bisa bertahan dan memperbaiki semuanya atau kamu akan terjun langsung ke dunia seperti itu karena terlanjur?” jawabku menggebu.
“Lalu keluargaku bagaimana, mereka akan terluka?”
“Saat ini yang terpenting menyembuhkan lukamu dan siapkan mental. Kamu tidak sendiri ada kami yang setia mendukung dan mendoakan. Kita memang wanita, tapi bukan wanita lemah yang mampu diperdaya justru harus menunjukan bahwa kita wanita tegar yang mampu bertahan,” aku mencoba meyakinkannya.
“Eyput, kamu benar, aku tak bisa selamanya seperti ini, semakin takut semakin ia merasa menang bisa menguasai sepenuhnya. Aku harus melawan!”
Kudekap Nisa dengan hangat, di sinilah hubungan saudara terjalin. Entah di negara manapun rasa cinta ini akan tercipta karena sebuah ikatan atas nama satu bangsa tempat kami dilahirkan, Indonesia. Ia tersenyum kepercayaannya mulai bangkit, seperti itulah yang kuharapkan dari wanita Indonesia. Jangan menyerah pada keadaan! Tersenyumlah pada dunia bahwa kita wanita hebat bermartabat.
Dalam doa hening, “Tuhan... berikan kekuatan, tuntunlah dan ridhoi setiap langkah, berikan petunjuk-Mu. Dan jangan berikan ujian yang hamba tak mampu menjalaninya.”
Aku terdiam di sudut malam, entah Tuhan akan mendengar atau mengabaikan. Aku yang hina tak mengharap pangeran atau pahlawan yang akan membebaskan, toh ini bukan dongeng Cinderella. Tapi, aku harap pemerintah tempat aku dilahirkan akan peduli pada nasib anak bangsa. Bukan hanya aku, tapi ratusan pahlawan devisa yang bernasib buruk di negeri asing. Mungkin kami dianggap sebelah mata, tapi kami ikut menambah devisa negara. Tak bisakah mereka mendengar jeritan hati kami? Wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat, saatnya kalian peduli pada rakyat.

***

“Eyput, kapan kamu pulang, Nak?” tanya Emak dengan nada sedih di telepon.
“Setelah kontrak selesai, Eyput pasti pulang. Emak jangan khawatir majikan di sini baik kok. Bulan depan Eyput kirim uang untuk biaya hidup juga sekolah Adik ya, Mak,” jawabku dengan batin menjerit. Tak kukeluarkan sedikit pun keluhan depan mereka karena tak ingin menambah beban pikiran, “Eyput ingin pulang, Mak!!!” namun, bibir masih kelu.
Aku yakin hidup akan indah pada akhirnya, meski tak tahu berujung di mana. Meski demi menuai indah jalan itu tak mudah, pengorbanan ini tak akan sia-sia karena tabir kebenaran akan tersingkap. Aku, hamba sahaya yang mencoba tersenyum dalam kerasnya perjuangan hidup meski tercabik perih pengkhianatan. Tapi, semangatku masih berkobar demi Emak, Bapak dan Adik tercinta....
“Doakan Eyput, Mak! Karena doamu sebuah kekuatan bagiku.”

***

END

Cerita ini di dedikasikan untuk BMI-HK dan seluruh pahlawan devisa negara. Tetap semangat dan tersenyumlah bidadari Indonesia.

#Event_GDW4_BMI HK

Tidak ada komentar: