Rabu, 23 Juli 2014

Aku Bukan Aisyah...


“Katakan... apa yang salah dalam diriku?” saat itu aku menatap mata Mas Randy dalam, ingin kutemukan jawaban yang pasti mengapa ia harus lari dan pergi menjauh.
“Aku mencintainya,” jawabnya dengan nada bersalah.
“Bagaimana denganku? Apakah cintamu telah menghilang? Mungkin akan lebih tahu diri untuk menyerah jika kau katakan apa kelebihannya dibanding aku?” aku berbicara dengan bibir bergetar antara sedih, marah dan kecewa. Tapi, aku masih penasaran dengan perasaannya yang dulu.
“Aku mencintai dia, bukan berarti aku ingin kamu pergi dari hidupku. Kumohon beri aku waktu untuk memperbaiki semua kesalahan ini!” ujar Mas Randy.
Aku ingin kamu kembali seperti dulu, bahuku memang tak selebar milikmu, tapi bersandarlah agar beban di pundakmu berkurang. Menangislah jika kau mau, aku yang akan mengusap air matamu meski kau seorang pria. Tapi sayang, kau ternyata lebih nyaman bercerita dengannya, aku semakin tersudut sebagai seorang istri yang tak becus.

Aku memang tak secantik dia, tak sepintar dia, tak semenarik dia, dia begitu sempurna untuk kau bandingkan denganku. Perasaan ini tak semudah membaca A, B, C, D tapi juga tak serumit rumus matematika. Perasaan ini hanya membutuhkan hati yang tenang, dan pikiran yang jernih. Aku hanya ingin bilang cinta tak selamanya harus berakhir bahagia, tapi bukan berarti juga harus menderita.

***

Terlalu naif memahami arti kata cinta sejati. Dulu aku begitu percaya dengan semua janji manis, tentang mimpi untuk merangkai masa depan yang indah. Tentang suka duka dan air mata yang akan kita ubah menjadi tawa saat bersama. Kau pernah bilang, takkan pernah membiarkanku menangis. Jika terpaksa harus menangis maka kau akan ada di sampingku untuk mengusap air mata.

Darimu, aku banyak belajar untuk mengendalikan diri dan ego karena aku tahu, kamu bukanlah pria sempurna yang menjadi idaman banyak wanita. Kamu bukan super hero, bukan juga pangeran dalam drama Korea atau yang biasa tertulis dalam teenlit. Tapi bagiku, kamu adalah sosok pria yang kucintai, itu saja! Meski tak kupungkiri rengekan manja, omelan kecil, cemburu yang berlebihan seringkali melelahkan hatimu. Iya, kita berdua telah sama-sama belajar untuk saling memahami dan menerima segalanya.
Di acara akad nikah yang khidmat, aku berjanji untuk mencintaimu seutuhnya hingga maut memisahkan kita. Tapi baru kusadari, pernikahan bukanlah akhir dari dongeng yang happy ending, dari sini babak baru telah dimulai, seiring berjalannya waktu... kamu telah berubah.

Mas Randy ingin menikah lagi, Naz,” ucapku lirih. Mata Naz sempat terbelalak kaget mendengar ucapanku, rasanya tidak bisa dipercaya apalagi olehku.
“Jangan bercanda! Dia takkan pernah melakukan hal setega itu!” ujarnya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku tak mampu berkata lagi, butiran kristal yang meleleh di pipiku telah menjawab semua keraguannya. Nazwa memelukku erat, kami berbicara dalam diam. Bagaimana bisa sebuah janji suci diingkari karena cinta semu? Iya, karena setelah pernikahan yang tersisa hanya rasa jemu. Mungkin saja pasanganmu yang sekarang ia adalah yang terbaik. Dan di surga nanti kaum pria akan dikelilingi puluhan bidadari dan istrimu akan menjadi ratunya. Belum cukupkah janji Tuhan yang satu ini? Masihkah kau inginkan wanita lain?
“Aku tak menyalahkan keputusanmu, hanya saja sanggupkah kamu menghadapi kehidupan setelahnya? Kamu akan dimadu, Is!”

Tangisku yang semula hampir mereda kini bertambah lagi karena pertanyaannya. Aku tak sanggup mengatakan apapun, dan ia masih terus nyerocos tentang rumah tangga, tentang cinta dan rasa kecewa. Nazwa adalah sahabatku sejak SMA, beruntungnya aku mendapatkan teman sebaik dia, karena dia juga yang selalu mengingatkan aku di mana aku mulai salah melangkah. Tapi untuk masalah hati dan keluarga, ia tak berhak untuk ikut campur. Ini hidupku! Ini pilihanku!

***

“Bawa wanita itu padaku!”
“Apa?” Mas Randy kaget mendengar keinginanku.
“Aku hanya ingin tahu, apakah dia bisa membahagiakanmu?” tanyaku.
Si wanita yang tak ingin aku sebut namanya, nyalinya besar juga untuk menerima undanganku datang ke rumah. Entah bagaimana suamiku bisa meyakinkan wanita ini? Bisa saja aku nekat, kalap lalu kubunuh saja wanita penggoda ini. Ah, aku tak bisa seperti itu, wanita yang sungguh cantik, memesona dengan tubuh tinggi semampai seperti artis Olla Ramlan, ramping, sexi, dan tentu saja wanita yang fashionable, tampak berpendidikan tinggi. Apalah artinya aku dibandingkan dia, pantas saja suamiku begitu tergila-gila padanya.
“Apa yang kamu suka dari suamiku?” tanyaku memulai pembicaraan yang terasa canggung antara istri dan calon madunya.
“Aku menyukai semua yang ada pada diri Mas Randy. Dia baik, perhatian, dewasa, pintar, bijak apalagi yang kurang darinya?” jawabnya begitu lugas. Ah, gadis yang polos.
“Yakin, dia begitu sempurna bagimu?” tanyaku sedikit membuatnya berpikir ulang.
“Bagaimana jika sebenarnya dia menyebalkan, jorok, nggak bisa diatur, memiliki kebiasaan buruk, selalu melempar handuk basah di atas kasur sembarangan, menyimpan kaos kaki di mana saja, meletakkan tas setiap pulang kerja di sofa. Setiap kali dia pulang harus ada makanan yang tersedia, secangkir kopi hitam dengan dua sendok gula, air hangat untuk mandi,  jika aku lupa salah satunya dia marah-marah. Dan saat kamu sakit, ia sibuk bekerja dan tak bisa menemani. Tak selalu berada di sisimu saat kau butuh. Atau seperti sekarang dia tak bisa setia pada istrinya, bukan hal tidak mungkin jika ia pun akan berpikir untuk mencari istri ketiga? Dia bukan suami yang setia, kan!?” akhirnya aku mengucapkan semua hal buruk tentang suamiku pada orang lain, terserah malaikat akan mengutukku seperti apa. Tapi begitulah keadaannya suamiku.
“Kenapa Mbak berkata seperti itu? Jika bagi Mbak, Mas Rendy adalah pria yang begitu menyebalkan kenapa masih bertahan dengannya, lepaskan dia! jika Mbak hanya bisa mencaci maki suami Mbak sendiri biar aku yang akan memenuhi semuanya.”
“Itu bukan cacian tapi kenyataan, kamu pikir cinta yang berujung dengan pernikahan hidupnya sudah bahagia? Tidak! Pernikahan adalah awal sebuah masalah. Apa kamu akan sekuat diriku, jika yang kau hadapi nanti adalah seorang wanita yang ingin merebut suamimu?” tanyaku masih dengan nada ramah padanya.
“Apa?” ia tampak berpikir keras.

***

Aku izinkan  kamu menikah dengannya, tapi... Suamiku sayang, aku berharap dia bisa lebih kuat dari aku, dia bisa lebih baik dari aku, dia bisa memasak lebih enak dari aku, dia bisa mengaji lebih bagus dari aku, dia bisa mengurus anak-anakmu kelak lebih sabar dari aku. Jika ada yang seperti itu, bawakan satu untukku! Maka aku akan pergi, karena aku  tetap wanita bernama Indah yang tak ingin dimadu.

Aku bukan Aisyah...

Sepucuk surat kutinggalkan di atas bantal, aku tak ingin menatap matanya saat pergi. Mata itu takut membelengguku. Aku bukan Aisyah... dan kamu pun bukan Nabi yang bisa adil untuk berbagi. Bukan juga Fahri, sosok suami sempurna.

***

Satu musim telah berganti, sakura mulai bersemi dan aku masih mencintaimu meski harus menunggu ratusan musim berganti lagi. Buih ombak datang dan pergi di bibir pantai menyapu setiap kenangan yang tersisa. Cinta tak pernah memiliki jalan yang mudah. Aku tak bisa menjadi orang lain untuk memilikimu karena aku ingin diterima sebagai seseorang yang mencintaimu dengan cara yang sederhana. Mataku tertumbuk, di sana aku melihatmu berdiri menatap anak kita, Rani. Sebuah nama yang penuh arti bagi kita karena ia hadir dari cinta.
“Apakah kamu kembali padaku, Mas?”

***

Maaf Mas aku telah salah menilai istrimu. Setelah perbincangan kami waktu itu, aku sadar aku takkan sekuat Mbak Indah. Dia memang istri terbaik, dan aku takkan mampu menggantikan posisinya. Kembalilah padanya Mas, aku ingin kalian berdua bahagia. Tak ada yang sempurna dalam pernikahan, tapi aku yakin kalian bisa saling melengkapi untuk menyempurnakan hidup itu. Aku janji takkan mengganggu kehidupan rumah tangga kalian lagi. Aku bukan Maria yang bisa mengharapkan suami orang lain untuk kebahagiaanku sendiri.

Salam sayang,

Tiara

***

Tidak ada komentar: