Minggu, 20 Juli 2014

Tak Ada Surga di bawah Telapak Kaki Ambar


“Radit sudah pergi,” ucap Ambar dengan nada lemah tak berdaya, tapi menyisakan senyum kecil yang tersungging di bibirnya.

Air mata menetes setiap kali ada yang bertanya tentang sosok Radit, sungguh acting yang sempurna.

Sial! Bahkan setelah kematianmu pun aku masih harus berpura-pura sedih! Apakah kehadiranmu hanya untuk membuatku selalu tampak berdosa? Geram hati Ambar.


Di gundukan tanah itu, Ambar masih tersungkur. Ada setitik penyesalan dalam diri kenapa semua ini harus terjadi? Radit bukanlah seseorang yang akan dengan mudah dilupakan, terutama bagi Ambar. Sekuat apapun, bayangan itu tidak akan pernah menghilang begitu saja.

Tahukah mengapa Radit begitu spesial? karena Radit seharusnya menjadi anugerah terindah dalam hidupnya. Anak semata wayang yang telah ia sia-siakan karena rasa malu terlahir dengan kondisi berbeda. Radit adalah anak berkebutuhan khusus, apa yang bisa Ambar banggakan pada teman-temannya? Kelahirannya sudah menjadi aib, sekarang ditambah dengan kecacatannya juga? Dan ini semua salah Danu, ia yang telah menanam benih kotor dalam perutnya. Jika saja ia tidak hamil maka tidak akan terlahir sosok Radit.

***

“Aku hamil, Dan,” kata Ambar setelah mereka kembali dari kampus.

“Apa? Gugurkan saja!” perintah Danu dengan ekspresi datar yang kelihatannya bukan hal baru baginya. Tanpa mau mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka perbuat.

“Iya, aku pun enggak mau hamil sekarang. Aku belum siap,” ucap Ambar saat itu.

Ambar dan Danu berusaha kuat agar tidak lahirnya anak karena perbuatan haram. Berbagai usaha sudah dilakukan mulai dari minum jamu, ke tukang pijat, dari yang alami hingga ilmiah, tapi takdir anak itu begitu kuat. Menginjak bulan ketiga Ambar hanya mengalami pendarahan kecil, tapi perutnya semakin membesar. Ia benci dengan keadaan ini. Mau tidak mau akhirnya ia harus melahirkan anak itu dengan menanggung beban berat di perut juga pundaknya karena rongrongan dari orang tentang cap buruk seorang gadis hamil di luar nikah.


Lalu di mana Danu? Cowok berengsek dan pecundang itu pergi meninggalkannya sendiri.
Terlihat senyum tipis dibalik bibirnya yang basah. Senyum kemenangan, akhirnya ia terbebas dari belenggu hidupnya. Bagi Ambar kelahiran Radit telah membelenggu kebebasannya.

Anak cacat mental itu harus mati. Biarkan Tuhan memutuskan kelak dan aku  tinggal mendorong Danu ke neraka! teriak batin Ambar.

 “Apa yang kamu lakukan Ambar?!” pekik wanita paruh baya saat melihat Ambar menyumpal mulut mungil seorang anak berusia dua tahun. Ambar tertawa terkekeh.

“Dia nangis terus, Ma,” jawab Ambar pada ibunya.

“Dia bisa mati Ambar, apa kamu tak berpikir itu?” Ibunya mendelik, sambil menggendong bocah cilik dengan mata sayu dan air liur yang masih terus menetes ke bajunya yang semakin basah.

Memang itu yang kuharapkan! Kematian anak tak tahu malu yang berani lahir ke dunia dengan kondisi seperti itu. Ambar bergumam dalam hatinya.

Entah masih adakah ruang kemanusiaan dalam hati Ambar? Atau sisi keibuan yang seharusnya ia miliki?

“Aku benci! Gara-gara kamu Danu meninggalkanku. Gara-gara kamu aku dicaci maki, kehilangan kebebasanku, dan gara-gara kamu aku kehilangan masa depanku! Dasar anak pembawa sial!” teriak Ambar dengan suara yang semakin meninggi tidak kalah menggelegar dengan sahutan suara petir malam itu.

Di saat hujan membasahi malam yang larut, pekat dalam kesunyian, Ambar membawa Radit keluar diam-diam. Hanya gelap, sunyi dan tetesan bening dari langit yang menjadi saksi saat itu.

***

Radit kecil terdiam dalam pasrah, ia menggeliat meminta kematiannya sekarang. Ada senyum kecil menghias bibir mungilnya, ia rindu pada Tuhannya.

Aku rela mati hari ini, hai ... wanita bernama ibu!

Terdengar jeritan hati yang mulai melolong dalam batin Radit. Radit yang masih belum bisa berpikir tentang baik dan buruk, tentang mengapa dia dilahirkan, dan tentang mengapa dia harus lahir dengan kondisi cacat mental. Juga seorang ibu yang akan menyayangi dan mencintainya sepenuh hati. Tentang sosok ibu yang dijanjikan Tuhan bahwa ia yang akan mengantarkannya kembali pada tempat terindah yang bernama surga. Kata Tuhan surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.

"Ibu yang mana Tuhan?” teriak Radit kecil yang masih belum bisa berpikir dan mengingat dengan jelas, dunianya dahulu sebelum ia terlempar ke dunia yang sekarang.

Dia yang katanya bernama ibu telah menyumpal mulutku. Ia ingin aku mati, saat melihat bola matanya yang liar dan merah membara melihat mataku. Iya, dia ingin aku kembali pada-Mu. Dan aku pun ingin itu sekarang, terimalah di sisi-Mu. Dunia asing yang bau darah dari orang teraniaya, bau kesombongan, bau kelaparan. Ingin berhenti di sini saja Tuhan, aku mohon ...

Malaikat bilang, beruntung akan memiliki ibu. Ibu adalah nama lain dari Tuhan, pemilik seperempat kasih sayang-Mu. Sungguh penasaran ingin segera bertemu dengannya. Tapi ketika berada dalam ruang sempit itu, aku telah disakiti, sering dipukul, diberi racun, sampai sesak kehabisan napas. Apakah aku salah masuk ke dalam rahim? Mungkin ini bukan rahim ibu tapi rahim dari binatang jalang.

Saat itu  ingin protes, dia bukan ibu! Tapi Engkau berbisik di telingaku, sabar ....
Sabar? Apa itu? Siapa dia? Apakah itu nama ibuku yang akan mengantar ke surga? Oh, baiklah kalau begitu, aku harus kuat demi melihat ibu.

Namun, saat terlahir ke dunia dan bertemu dengannya, apakah Engkau bohong padaku Tuhan? Dia bukan ibu! Dia juga bukan sabar! Tapi dia adalah Ambar! Ambar yang melahirkanku dengan kebencian, dengan darah kotor, hina dan malu. Mungkin dia setan yang menjelma menjadi ibu. Dia sungguh membenciku!

***

Masih di atas gundukan tanah merah yang basah, Ambar menatap batu nisan. Mengingat kembali wajah polos Radit yang ia benci. Wajah yang begitu iba mengharap kasih sayangnya, tatapan nanar yang takkan pernah ia lihat lagi. Radit yang bahkan bicara pun belum mampu, apalagi ditambah dengan kekurangannya. Ia akan sulit belajar, apalagi tentang kehidupan yang ganas.

”Bukankah sebaiknya kamu mati, Nak?”

Tapi di malam terakhir itu, hati Ambar bergetar, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, ada dinding yang runtuh seketika, sebuah pintu yang terkuak lebar. Ambar baru ingat malam itu, sebelum ia membungkam mulut mungil yang masih saja mengeluarkan air liur yang menjijikan. Satu hal yang membuatnya merasa menyesal telah melakukannya.

Radit tak pernah diajari apapun olehnya, bahkan tidak satu kata pun. Namun, kali ini satu kata membuatnya tertegun yang mengantarkan pada satu sisi kemanusiaan, mengembalikan dia pada kodratnya. Tapi sayang, satu kata itu adalah kata terakhir yang takkan pernah ia dengar lagi dari Radit.

“Ibu ....”

***

 END

Tidak ada komentar: