Minggu, 22 Maret 2015

Senja yang Karam




Oleh : Nanae Zha

Dia yang mengajari tersenyum diam-diam. Namun, juga orang pertama yang memperkanalkanku pada kata patah hati. Buyarkan segala mimpi, tajam tatapannya mengelabui senja, membuai cakrawala.

Tiada yang mampu melukiskan keindahan jingga, ratusan pujangga memuji dalam rangkaian kata. Langit memendarkan cahaya kesumba. Aku masih berdiri mengenang semua yang terjadi di bawah langit yang sama.

“Zia, kumohon jangan pergi!”
“Lupakan aku, Mas. Kita sudah tidak cocok,” jawabnya dingin dan sinis.

Desiran perih menyeruak dinding hatiku. Entah apa yang membuatnya berubah. Mungkinkah cinta yang terjalin kini memudar seiring berlalunya lembayung petang. Bulan berlalu, aku masih sendiri, begitu menyesakkan. Tuhan, jangan biarkan aku membenci senja ini karena rasa letih menunggu.
           
            “Dion, lupakan saja Zia. Jangan sia-siakan hidup menunggu sesuatu yang tak pasti, kamu itu lelaki jangan lembek cuma karena satu perempuan,” ucap Firman untuk yang kesekian kalinya.
           
“Apa salahnya menjadi lelaki setia? Bukankah seorang pria yang dipegang adalah ucapannya?”  Sejujurnya sering kali kami berdebat hal yang sama. Aku tahu dia melakukan itu karena peduli.

“Baiklah, jika kamu ingin setia. Maka, tunjukkan dengan bukti nyata!”
“Maksud kamu?”
“Datangi rumah Zia dan tanya kenapa dia meninggalkanmu!” Ucapan Firman terasa menusuk jantungku, tapi apa yang ia katakan ada benarnya. Aku tak bisa terus menunggu.

Senja di hari yang berbeda, aku mengunjungi rumah sederhana di dekat perbukitan desa sebelah. Mencari keberadaan Zia, akan kutanyakan apa alasannya meninggalkanku, jika ia telah memiliki pengganti yang lebih baik, maka aku ikhlas melepasnya.

“Dion? Saya kakaknya Zia. Akhirnya, beruntung bisa bertemu denganmu. Dulu, Zia meninggalkanmu karena sangat mencintaimu.  Ia mengidap maag kronis dan tak kuasa untuk mengatkan kebenarannya. Sampai saatnya ia tak mampu bertahan, hanya satu pesannya, agar kamu bahagia karena ia telah damai dalam pangkuan-Nya.”

Bulir air mata membasahi pipi tanpa bisa kukendalikan. Kenangan menapaki jejak yang karam, senja selalu saja membawa kegelapan.

***

Tidak ada komentar: