Minggu, 29 Maret 2015

Do It Right Now!


Oleh : Nanae Zha

Meraih cita memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada pengorbanan yang harus dilakukan. Ada doa dan ikhtiar, kata pamungkas adalah tawakal. Seperti halnya aku, bercita-cita menjadi penulis profesional. Entah darah siapa yang mengalir di tubuhku, melihat kenyataan dalam keluarga tidak ada satu pun memiliki hobi atau hasrat sama dalam dunia kepenulisan.

“Penulis?” Tak sedikit mereka bertanya dengan nada mencibir.

“Apa salahnya penulis?” Setiap orang sukses dengan caranya sendiri balasku.

Sore ini cuaca begitu adem, di ujung cakrawala kulihat awan pekat menjauh. Setidaknya sore ini aku pulang kerja tanpa harus kehujanan. Sebelum pulang, aku dan teman-teman sepakat untuk menejnguk teman yang melahirkan.

“Tuh! Na, Desi sudah menikah bahkan sekarang punya anak. Terus kamu kapan?” Ah, pertanyaan yang sama untuk beberapa tahun ini.

Mereka mulai usil dengan kehidupan pribadiku. Coba menanggapi dengan senyuman. Padahal dalam hati ingin menangis, tumpah ruah air mata dalam dada. Aku enggak menutup pintu hati untuk siapapun meski sejujurnya memang susah untuk menerima orang baru dalam hubungan yang lebih private.

“Kapan kamu berubah, Na?” Terdengar suara mama begitu pasrah.

”Ma, semua akan indah pada waktunya,” jawabku mengutip quote yang sering kudengar.

Hanya saja sampai saat ini, aku belum bisa membeli mulut mereka. Mengalahkan rasa malas adalah sesuatu yang sulit  jika tidak diusahakan. Menjadi tipe pemimpi tanpa benar-benar mewujudkan. Terkadang malu dengan diri sendiri mengapa ada orang sebebal ini. Apakah tak ada sesuatu didunia ini yang mampu membuang rasa malasku? Hingga suatu hari aku bertemu dengannya, motivator kedua yang hadir membawa cerita.

“Kamu suka nulis, Na?” tanya Dendy.

“Iya, kenapa? Aneh sama penulis?” tanyaku seperti biasa sudah kebal dengan olok-olok seperti itu.

“Lho, kok gitu?! Justru aku suka ....”

“Menulis?” tanyaku memotong ucapannya.

“Bukan! Aku hanya penikmat. Boleh aku baca karya kamu?”

Baru kali ini jantungku dibuat dag dig dug oleh sosok pria. Mungkinkah ia orang tepat yang akan mengerti dan mendukung apa yang kuinginkan? Namun, aku belum berani berharap sejauh itu, ia baik, tulus berteman denganku. Maka tidak akan kusalahartikan kebaikannya ini.

Dendy yang menuntunku pada jalan baru, ia mengenalkanku pada satu komunitas yang sesuai dengan hobiku. Di grup Antologi Es Campur  inilah, aku belajar, menemukan teman baru dan berbagi ilmu tentang dunia menulis. Banyak ide yang bersarang dalam otakku, di sini kutemukan sarana untuk berkarya.

Kebodohan yang mengakar, kini akar itu telah dicabut habis dalam pikiranku. Bukankah pikiran adalah gudang segalanya? Apa yang kita pikirkan maka seperti itulah jadinya kita. Dan aku tak ingin berpikir negatif, hanya ingin terus berkarya, itu saja!

“Terima kasih ya, Dendy. Tapi, kenapa kamu begitu baik sama aku?”

“Sebenarnya itu caraku menebus kesalahan yang dulu.”

“Maksud kamu?”

“Pacarku dulu menyukai dunia menulis, tapi aku selalu melarangnya karena banyak menghabiskan waktu dengan hobi sedangkan aku terabaikan. Semuanya telah berakhir, ketika dia pergi dari dunia ini, satu hal yang bisa aku kenang adalah karyanya dalam bentuk buku.”

Oh, Dendy ternyata ia memiliki masa lalu yang tak pernah aku tahu. Bukan karena  menyukaiku, hanya karena ingin menebus dosa yang lalu. Tidak apa, dari awal aku telah siap dengan apapun yang akan terjadi.

Setidaknya sekarang aku punya mimpi mewujudkan karya agar bisa mendapat apresiasi dari para penikmat kata. Meski aku bukanlah peramu kata yang bijak, tapi aku mencoba menghidupkan keindahan kata.

            Meski cinta belum kudapatkan, berharap cita bisa kutoreh bersama AE Publishing. Aku pasti bisa! Do it right now, Na!

***

Cianjur, 29 Maret 2015

Tidak ada komentar: