Jumat, 06 Maret 2015

Sepasang Mata di Bawah Langit Senja




Oleh: Nanae Zha



Kamu tak akan pernah bisa melihatku, tapi aku selalu abadi di hidupmu ....

Aku masih terus berjalan hanya mengikuti ke mana angin bertiup. Suasana pedesaan yang jarang bisa kutemui, udara segar tanpa polusi meski tidak mampu mengubah keadaan. Langit di bulan Februari, bulan kasih sayang yang menyesakkan. Kutatap semburat jingga menyaput langit sore itu. Apa hebatnya senja? Ketika banyak orang yang mengagumi bak pujangga. Puisi-puisi senja yang tak beralas, kotor dan menebar bau busuk di setiap sudut harapan. Dan aku kehilangan harapan itu!
Buukk!
“Aaww!” Seseorang menabrak, hampir saja aku tersungkur ke tanah. “Kamu buta ya?!” bentakku masih menahan rasa nyeri di lengan.
“Maaf,” ujar seorang gadis yang tampak biasa saja. Penampilan sederhana, rambutnya dibiarkan tergerai dan melambai-lambai saat tertiup angin. Hanya ada jepitan rambut kecil yang menghiasi kepalanya.
Aku mendengus kesal, ekspresi yang cukup kentara karena mood-ku yang mudah berubah akhir-akhir ini. Aku tidak berniat berbasa-basi dengannya.
“Tunggu!” Sergah gadis asing itu. “Saya memang buta, maafkan saya yang sudah membuat kamu kesal karena kebutaan saya,” tuturnya.
Aku tersentak, langkahku spontan berhenti. Kupandang gadis yang berdiri di depan dengan rasa heran. Kuselidiki dari ujung kaki hingga ujung kepala, tidak akan ada yang menganggap dia tidak sempurna. Hanya tongkat itu yang membuatnya tampak aneh sedari tadi.
Aku masih bergeming dari kedua bola mata gadis itu. Menatap jauh ke dalam, mungkin tak ada cahaya yang jatuh ke dalam retinanya, tapi matanya masih bersinar penuh semangat. Masih penasaran, kuangkat kedua tangan lalu mengibaskan di depan wajah gadis itu, tapi tetap tak ada respon. Sayang ... bola mata yang indah, gumamku.
“Mataku cukup indah untuk kalangan orang buta, meskipun tidak bisa melihat bukan berarti saya tidak mengetahui apa yang kamu lakukan.” Aku terperanjat seolah ia bisa melihat dengan jelas.
Aku melihat ke sekitar, namun tak ada satu orang pun di sana selain. Kenapa bisa gadis buta dibiarkan sendiri? Pikirku.
“Tempat ini sudah menjadi sahabat sejak kecil, saya mengetahui setiap inci desa ini. Jadi, saya tidak membutuhkan kawalan dari siapapun,” terangnya membuatku semakin yakin ia memiliki indra keenam untuk membaca pikiran orang lain.
Entah bagaimana bisa? Senja itu, kami menghabiskan waktu bersama, bertukar cerita meski lebih banyak Fira yang bercerita. Aku hanya berperan untuk menjadi pendengar yang baik. Masih terselip tanda tanya besar dalam benakku, mengapa Fira bisa setabah itu? Mengalami kebutaan sejak dini bukanlah hal mudah yang bisa dilewati, bahkan Fira bisa berdiri dengan bangga di hadapan semua orang karena kebutaannya.
“Kegelapan ini lebih baik bagiku, setidaknya saya tidak perlu melihat ekspresi orang-orang yang mengasihaniku!”
Aku terperangah sekali lagi, ditatapnya dua bola mata yang tertimpa langit senja. Senja yang nampak berbeda dari sebelumnya. Entah itu karena cuacanya atau mungkin karena kehadiran Fira yang membuat berbeda. Namun yang pasti, rasa kagum itu muncul diam-diam.

***

“Fira, maaf saya terlambat,” ucapku penuh penyesalan.
“Enggak apa-apa, saya juga belum lama di sini.”
Setelah pertemuan kemarin sore, hari ini pun kami berjanji untuk bertemu lagi. Entah siapa yang memulai, rasanya hal itu bukanlah menjadi hal yang penting. Kini kenyataannya kami bersama. Itu sudah cukup. 
“Tongkat kamu mana?” tanyaku heran.
“Saya tidak membutuhkannya sekarang, bukankah ada kamu? Kamu yang akan menjadi tongkat penunjuk jalanku, dan saya akan melihat dunia dengan matamu. Boleh?” tanya Fira, baru kali ini aku merasa tersanjung. Kini, ada seseorang yang memercayai dengan tulus bahwa aku pun bisa menuntun, bukannya selalu dituntun oleh orang lain.
“Tentu saja boleh! Aku akan memperkenalkan banyak hal indah di dunia ini. Kamu bisa menikmatinya sepuas kamu mau.” Kami tertawa lepas, setelah sekian lama lupa bagaimana caranya tertawa. “Kita mau pergi kemana?” tanyaku yang memang belum mengenal tempat ini.
“Ke atas bukit itu!” Fira mencoba menunjuk dengan benar arah yang ditujunya. Aku menatap jalanan berbatu yang menanjak, tepat di atas bukit itu hanya ada sebuah pohon yang nampak rindang.
“Kenapa kita ke sana?”
“Saya ingin melihat pelangi.” Senyum Fira semakin mengembang.
Ah, gadis ini bagaimana cara dia melihat pelangi? Dia kan buta! Aku terus bergumul dengan pikiranku. Kemudian ingat bahwa Fira bisa melihat indahnya dunia melalui mataku.
“Saya tidak akan melihat seperti cara kamu melihatnya! Saya punya cara untuk melukiskan indahnya warna pelangi. Merah, kuning, hijau berpadu dengan langit senja, bukankah itu memberikan sensasi yang berbeda?”
“Entahlah!” Aku terdiam, awalnya aku membenci senja yang hanya membawa kegelapan dan rasa dingin yang hambar.
“Hari ini saya menerima telepon dari dr.Pram. Katanya saya mendapatkan donor mata yang cocok. See, keajaiban itu ada! Saya tinggal menunggu hari yang menakjubkan itu.” Fira tampak antusias dengan kabar baiknya.
“Benarkah? Syukurlah, aku berharap kamu bisa mewujudkan impianmu setelah ini.” Aku ikut berbahagia dengan kabar yang luar biasa.
“Iya, tentu saja meski tidak semua keinginanku bisa terwujud,” katanya dengan nada sedih.
“Apa mimpi terbesar dalam hidupmu?” tanyaku, padahal diriku sendiri tidak pernah berani bermimpi.
“Mama, aku rindu orang tuaku. Tapi, semuanya tidak akan kembali.” Ia terdiam, namun tak ada air mata di sana. Entah karena telah habis atau mungkin ia bendung sekuat mungkin di balik netranya. “Ceritakan tentangmu! Kenapa kamu begitu pendiam? Setiap kuceritakan tentang mimpi dan keajaiban, kamu kelihatan pesimis! Apa kamu tidak punya harapan?” Ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Apa yang harus kuceritakan? Harapan itu telah hilang, jika aku banyak bermimpi maka aku akan sulit menghadapi kenyataan.”
“Maksud kamu?” Aku menarik napas dalam, ada rasa getir dalam setiap kata. “Seperti aku yang memercayai keajaiban, kamu pun pasti akan mendapatkannya.” Fira memegang tanganku, ada getaran berbeda saat ia meraih kedua tanganku. Terasa dingin di awal kemudian hangat menjalari tubuh.
I hope ...,” jawabku datar tanpa janji yang muluk-muluk.     
“Janji?! Saat aku membuka mata, kamu harus hadir di sana!”
“Baiklah, aku janji.”
Fira gadis buta yang selalu menunjukkan tentang harapan hidup, berbanding terbalik denganku. Ia memiliki semangat hidup yang tinggi, bagaimana cara tersenyum, menghindari airmata yang hanya akan mengundang belas kasihan. Langit sore itu tanpa bias lembayung namun mampu meneduhkan hati dalam kegamangan.

***

RS.St.Borromeus Bandung, setiap dinding menjadi saksi bisu. Aku membentur-benturkan kepala pada tepi ranjang. Mama menahan tubuhku yang terus menggelinjang, dalam dekapan mama baru aku bisa tenang.
“Sakiiitt, Ma,”  ucapku lirih.
“Bertahan sayang, jangan sakiti dirimu lagi, Mama mohon.” Nasihat mama yang kelihatannya sudah lebih ikhlas dengan apa yang akan terjadi.
“Ma, aku enggak mungkin bisa menemui Fira setelah operasi. Tolong kasih surat ini untuknya! Janji itu harus kutebus dengan cara yang berbeda.”
Mama mengangguk, menerima sepucuk surat untuk Fira. Seseorang yang mampu mengubah hidupku meski hanya dalam hitungan hari. Terdengar isakan kecil yang terasa lebih menggema dalam ruang yang tak seberapa luas itu.
Cinta pertama di bulan Februari, menyisakan banyak kenangan yang tak mudah dilupakan. Mungkinkah hanya sampai di sini kisah kasih yang baru saja kumulai? Mungkin benar cinta tak harus memiliki dan aku bisa mencintaimu dengan cara yang berbeda.

Aku sakit Fir, kanker otak stadium 4. Setiap hari aku hanya mengenal rasa sakit yang terus menjalari otakku hingga akhirnya melumpuhkan seluruh sistem imunku. Ketika rasa sakit itu menyerang, satu-satunya yang kamu lihat adalah kematian di hadapanmu!


***


Fira mengalami kebutaan di usia lima tahun akibat kecelakaan yang menimpa keluarganya. Kedua orangtuanya tewas seketika, hanya ia yang berhasil diselamatkan. Karena benturan keras itulah, penglihatan yang awalnya normal kian lama kian memudar, akhirnya meninggalkan warna gelap yang tersisa.
Ia tinggal dengan kakek dan neneknya di desa. Karena faktor ekonomi Fira kecil tak pernah mengalami operasi, tapi dokter pernah bilang kebutaannya bukanlah buta permanen. Fira masih bisa disembuhkan! Hanya kata-kata itu yang ia percayai. Suatu saat keajaiban itu akan hadir dan menghampirinya, makanya ia tak pernah berhenti berharap.

Di  ruangan lain masih di rumah sakit yang sama.
“Nek, nanti Fira bisa melihat lagi.”
“Iya, Fir, alhamdulillah doa kita selama ini akhirnya terkabul. Semoga operasinya berjalan lancar.
“Aamiin ....”
Pikirannya masih menerawang pada Adrian. Kemarin ia tak sempat pamitan saat dokter Pram menjemputnya untuk dibawa ke kota. Tentu saja untuk operasi besar harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap dan canggih karena di Rumah Sakit Desa peralatannya belum memadai.
Beberapa jam lagi operasi akan dilakukan. Ia berharap Adrian akan hadir saat perban pertamanya dibuka.

Beberapa hari kemudian ....

Teruntuk Fira

Fira, selamat untuk kelahiran barumu melihat dunia, aku bersyukur dan turut berbahagia untukmu. Terima kasih atas kenangan yang telah kau berikan, atas semua mimpi yang ingin kau wujudkan karena mimpi-mimpimu yang membuatku merasa ingin hidup lebih lama denganmu.

Kamu pernah bilang ingin melihat dunia dengan mataku, namun aku tak kan selalu ada di sisimu. Maaf, aku tak bisa menepati janjiku, tapi aku menepati dengan caraku! Aku tetap berada di sisimu saat pertama kali kau melihat cahaya.

Tatap matamu Fir, maka kamu akan melihatku di sana! Terima kasih atas cinta yang pernah hadir dalam detik akhir hidupku. Titip Mama untukku, bukankah kamu ingin tahu rasanya punya Mama? Dia akan mencintaimu, seperti cintaku yang takkan pernah habis untukmu!

Salam sayang Adrian


Tak terasa air mata Fira meleleh, tak mampu berkata-kata, ada rasa sakit menyayat hatinya.
“Fira mata itu bukan untuk mengeluarkan air mata, tapi untuk menjemput impian besarmu melihat dunia.” Mama Adrian menahan sedu sedan yang tersekat di ujung pita suaranya.
“Iya, Tante, Fira janji enggak akan menangis dengan mata ini.”
“Fira, bisa panggil Mama, kan?” tanya Mama Adrian.
“Ma-ma ....” Fira memanggil dengan terbata-bata.

Mereka berdua berpelukan, menangis bersama, ada bahagia di sela air mata. Akhirnya Fira bisa menatap dunia, melihat jutaan warna. Dan kini ia punya seorang Mama. Apalagi yang kurang darinya? Fira menatap cermin, tak begitu penting dengan wajahnya karena yang ia tatap adalah sepasang mata yang abadi, menemani sampai akhir hayat dari orang yang ia cintai. Adrian!
Bulan Februari, ada kasih yang tak sampai, namun ada cinta lain yang hadir. Hidup selalu seperti itu, penuh keajaiban.

***

END


Cianjur, Maret 2015

Tidak ada komentar: