Sabtu, 07 Maret 2015

TASNIM





DEG!!!
Mataku tertumbuk pada lapangan basket tepat di sebelah perpustakaan. Sosok yang ingin kutemui sejak kemarin. Aku menyukai saat peluh membasahi tubuhnya, atau keringat mengucur di sekitaran dahi, lebih terlihat maskulin. Dia berdiri tepat di three point line, lalu melemparkan bola ke ring.

“Yeeeaaahhh ... Masuuk!” teriakku kegirangan,  tanpa disadari ia melirik sambil tersenyum. Aaakkk!!! Ini malu-maluin banget dikiranya aku suka stalking. Demi menjaga gengsi dan harga diri, aku langsung memutar tubuh 180 derajat. Meskipun maksud hati tidak dipungkiri ingin mengenalnya lebih dekat, tapi tidak sekarang.
“Mpat!!!” teriak Hani sambil melambaikan tangannya. Aku menghampiri, panggilan ‘Mpat’ itu tidak enak didengar. Entah terinspirasi darimana orang tuaku memberi nama itu. Sungguh aku membencinya, tak ada yang spesial dari namaku, malah lebih sering menjadi ejekaan. ‘Merpati’ sejenis unggas? Aarghhh ... dipanggil ‘Mer’ (dibaca seperti kata merpati ; sangat rancu di telinga) atau ‘Pati’ yang artinya mati dalam bahasa Sunda. Kan, nggak ada enaknya panggilan nama buatku. Hufthh ...

“Han, aku ketemu Tasnim lagi main basket, dia tersenyum ....” Padahal sekedar mengalihkan rasa kesal karena panggilan nama itu.
“Terus kenalan?” tanya Hani penasaran. Aku menggeleng, ia malah menjitak kepalaku.
“Bodoh! Kalau dia udah bisa senyum harusnya  manfaatin dong! Jangan diam-diam sebagai pemuja rahasia kayak gini.” Hani nyerocos tanpa mau menatap mataku yang mengiba, berharap dia nggak terus mengatakan gadis bodoh karena telah mencintai cowok hanya dalam mimpi.
“Bagaimana persiapan festival budaya minggu ini?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
“Oke Siip! semuanya sudah delapan puluh persen, tinggal setting panggung. Makanya cepetan ke aula. Kita udah ditungguin sama Yona, tahu sendiri dia kayak gimana kalau kita telat.”

Ajaknya sambil menarik tanganku, bersyukur karena pembicaraan tentang Tasnim berhenti sampai di sini.

***

Aku masih berdiri menatap gerbang kokoh, nameplate SMA Putra Bangsa terpampang anggun di dinding marmer warna hitam dengan huruf kapital berwarna silver cukup elegan. Di bawah taman bunga tertata rapi, kelihatannya tukang kebun di sini sangat telaten memelihara tanaman. Di sebelah kiri gerbang, pos satpam tampak baru dicat warna putih, begitu bersinar saat tersapu cahaya mentari. Di dalam seorang satpam manggut-manggut menahan kantuk, mungkin kehadiranku di sana pun tak disadarinya. Dengan mantap kulangkahkan kaki memasuki kawasan sekolah.

Menjadi panitia festival budaya telah menyita waktu dan pikiran, tapi semua kerja keras kami terbayar, saat melihat acara berjalan lancar. Bazar tahun ini paling heboh, dengan pekan budaya yang keren. Bagi-bagi buku gratis dan juga lelang dari barang-barang yang telah dikumpulkan untuk didonasikan pada penyandang cacat dan orang tidak mampu. Kerja sama yang baik terjalin, siswa dan guru ikut menyumbang hasil karya mereka. Dan tentu saja pentas seni yang menjadi daya tarik festival ini, mulai dari teater, drama musikal, dance atau menyanyi menjadi hiburan yang ditunggu para penonton dan tamu undangan.

Deg ... deg ... Jantungku berdetak cepat, tanpa bisa mengontrol emosi saat melihat dia naik ke atas panggung dengan tas gitar yang bertengger di pundaknya.
“Ciiieee, Tasnim tuh!”
Goda Hani sambil menyikut lenganku. Sayang sekali, bagian pentas seni bukan aku yang menjadi panitia. Aku hanya ditugaskan dalam hal bazar.  Tasnim membungkuk memberi salam dan hormat pada penonton, tepukan riuh dan teriakan dari beberapa anak cewek menggema di sana. Huftth ... sudah kuduga dia pasti memiliki banyak fans. Ia memainkan gitar akustik, menyanyikan satu lagu berjudul “Kasih Tak Sampai”. Tak dipungkiri suara indahnya membuat semua terpana.

“Kenapa dia menyanyikan lagu ‘Kasih Tak Sampai’, sih?” Pertanyaan Hani mengganggu konsentrasiku. Aku juga tertegun, tapi itu kan hanya sebuah lagu. Bukan berarti lagu itu mengutarakan isi hatinya.

“Terima kasih teman-teman, kali ini saya ingin menyampaikan sesuatu. Mungkin ini adalah hari terakhir bagi saya di sini. Karena mulai semester depan saya pindah ke Surabaya dan saya minta maaf atas semua khilaf baik sengaja maupun tidak. Mohon doa dari semuanya. Terima kasih.”

Ucapan perpisahan dari Tasnim telah menghancurkan hari indah itu. Aku terdiam, dada terasa sesak, hanya air mata yang menetes di pipi tanpa bisa dibendung lagi. Terdengar suara kecewa para gadis di sana, tapi tak sesakit yang aku rasakan.  Rasa sakitnya itu di sini, tepat di jantung hatiku. Kehilangan dia seperti kehilangan  sumber mata air. Entah bisa aku temukan cara untuk melanjutan kehidupan tanpa dia atau tidak.

“Ngomong sekarang atau enggak sama sekali, Pat,” ujar Hani jelas di telingaku.
“A-ku ....” Tak dapat berkata lagi, bibir bergetar, takut ada orang yang melihatku menangis.
“Tapi, kamu bakal nyesel seumur hidup!” seru Hani mulai habis kesabaran. Sesaat kubiarkan Hani menatap dengan rasa tidak sabar. Kuhela napas dalam, mencoba menetralisir semua perasaan. Tasnim bukan siapa-siapa, dan dia pun takkan pernah tahu aku siapa. Demi cita-citanya apalah arti diriku?

Kadang sumber mata air itu tak mudah untuk didapatkan, ada banyak pengorbanan dan perjuangan untuk mendapatkannya begitu pun kamu ....

***

Tasnim satu nama yang memiliki arti luar biasa, bukan karena artinya yang memang sumber mata air. Tapi, seperti sumber kenangan  manis dan pahit  yang sulit dilepaskan dari ingatan.
“Mpat, tunggu!”
Suara asing yang males aku ladenin, apalagi dengan panggilan dari si Hani yang booming sejak SMP, sialnya harus satu sekolah lagi dengannya. Maka panggilan itu pun masih harus berlanjut di SMA. Hampir saja aku marah ketika aku membalikkan badan. Dan oow ...
“Maaf, boleh aku ngomong sebentar,” ucapnya yang membuat luluh seketika. Cowok  yang ingin kukenal lebih dekat, ternyata kini tepat di hadapan.
“Aku harus pergi karena orang tua dipindah tugaskan, sebenarnya udah betah di sekolah ini. dan salah satunya karena kamu, mengerti kan maksudku?”
Seperti orang kesambet, aku malah bengong.
“Aku harap kamu bisa jaga diri baik-baik, suatu saat aku pasti kembali, Tuhan akan mempertemukan kita dengan cara-Nya.”
Dia meraih tanganku, kami berpegangan untuk pertama kalinya dan itu hanya secepat kilat. Ia tersenyum lalu pergi. Kulihat punggungnya semakin menjauh.
Hari terakhir yang menyisakan tanda tanya besar, apa maksud dari ucapannya?

Sabar itu, aku bisa menunggumu tanpa butuh hitungan waktu, dan masih bisa sabar saat aku harus melepasmu.

***

Satu tahun kemudian ...

“Aku rindu kamu, Tasnim.” Aku terguguk dipojokan kamar. Dengan nuansa siluet berwarna ungu dan lampion yang membuat samar pandangan mata, terhempas ke dalam kenangan.

Setia, seperti halnya merpati yang tak pernah ingkar janji. Kini baru aku sadari arti nama Merpati, sebuah simbol karena orang tuaku mengharapkan kesetiaan. Sebuah bakti bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk orang-orang yang mencintaiku.
Dan itu pasti! Nama yang menjadi sugesti dalam hidup. Meski nggak tahu apa buah dari kesetiaan ini. Aku masih menunggumu, hingga satu saat di mana kita akan bertemu. Semoga Tuhan mempertemukan dengan cara yang lebih indah.
Laksana mata air, kamu sumber kehidupan, maka aku adalah simbol kesetiaan yang sejati.

***
 Cianjur, Maret 2015

Tidak ada komentar: