DEG!!!
Mataku
tertumbuk pada lapangan basket tepat di sebelah perpustakaan. Sosok yang ingin
kutemui sejak kemarin. Aku menyukai saat peluh membasahi tubuhnya, atau keringat
mengucur di sekitaran dahi, lebih terlihat maskulin. Dia berdiri tepat di three point line, lalu melemparkan bola
ke ring.
“Yeeeaaahhh
... Masuuk!” teriakku kegirangan, tanpa
disadari ia melirik sambil tersenyum. Aaakkk!!! Ini malu-maluin banget dikiranya
aku suka stalking. Demi menjaga
gengsi dan harga diri, aku langsung memutar tubuh 180 derajat. Meskipun maksud
hati tidak dipungkiri ingin mengenalnya lebih dekat, tapi tidak sekarang.
“Mpat!!!”
teriak Hani sambil melambaikan tangannya. Aku menghampiri, panggilan ‘Mpat’ itu
tidak enak didengar. Entah terinspirasi darimana orang tuaku memberi nama itu.
Sungguh aku membencinya, tak ada yang spesial dari namaku, malah lebih sering
menjadi ejekaan. ‘Merpati’ sejenis unggas? Aarghhh ... dipanggil ‘Mer’ (dibaca
seperti kata merpati ; sangat rancu di telinga) atau ‘Pati’ yang artinya mati
dalam bahasa Sunda. Kan, nggak ada enaknya panggilan nama buatku. Hufthh ...
“Han,
aku ketemu Tasnim lagi main basket, dia tersenyum ....” Padahal sekedar
mengalihkan rasa kesal karena panggilan nama itu.
“Terus
kenalan?” tanya Hani penasaran. Aku menggeleng, ia malah menjitak kepalaku.
“Bodoh!
Kalau dia udah bisa senyum harusnya manfaatin dong! Jangan diam-diam sebagai
pemuja rahasia kayak gini.” Hani nyerocos tanpa mau menatap mataku yang
mengiba, berharap dia nggak terus mengatakan gadis bodoh karena telah mencintai
cowok hanya dalam mimpi.
“Bagaimana
persiapan festival budaya minggu ini?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
“Oke
Siip! semuanya sudah delapan puluh persen, tinggal setting panggung. Makanya cepetan ke aula. Kita udah ditungguin
sama Yona, tahu sendiri dia kayak gimana kalau kita telat.”
Ajaknya
sambil menarik tanganku, bersyukur karena pembicaraan tentang Tasnim berhenti sampai
di sini.
***
Aku
masih berdiri menatap gerbang kokoh, nameplate
SMA Putra Bangsa terpampang anggun di dinding marmer warna hitam dengan
huruf kapital berwarna silver cukup
elegan. Di bawah taman bunga tertata rapi, kelihatannya tukang kebun di sini
sangat telaten memelihara tanaman. Di sebelah kiri gerbang, pos satpam tampak
baru dicat warna putih, begitu bersinar saat tersapu cahaya mentari. Di dalam seorang
satpam manggut-manggut menahan kantuk, mungkin kehadiranku di sana pun tak
disadarinya. Dengan mantap kulangkahkan kaki memasuki kawasan sekolah.
Menjadi
panitia festival budaya telah menyita waktu dan pikiran, tapi semua kerja keras
kami terbayar, saat melihat acara berjalan lancar. Bazar tahun ini paling heboh,
dengan pekan budaya yang keren. Bagi-bagi buku gratis dan juga lelang dari
barang-barang yang telah dikumpulkan untuk didonasikan pada penyandang cacat
dan orang tidak mampu. Kerja sama yang baik terjalin, siswa dan guru ikut
menyumbang hasil karya mereka. Dan tentu saja pentas seni yang menjadi daya
tarik festival ini, mulai dari teater, drama musikal, dance atau menyanyi menjadi hiburan yang ditunggu para penonton dan
tamu undangan.
Deg
... deg ... Jantungku berdetak cepat, tanpa bisa mengontrol emosi saat melihat
dia naik ke atas panggung dengan tas gitar yang bertengger di pundaknya.
“Ciiieee,
Tasnim tuh!”
Goda
Hani sambil menyikut lenganku. Sayang sekali, bagian pentas seni bukan aku yang
menjadi panitia. Aku hanya ditugaskan dalam hal bazar. Tasnim membungkuk memberi salam dan hormat
pada penonton, tepukan riuh dan teriakan dari beberapa anak cewek menggema di
sana. Huftth ... sudah kuduga dia pasti memiliki banyak fans. Ia memainkan gitar akustik, menyanyikan satu lagu berjudul
“Kasih Tak Sampai”. Tak dipungkiri suara indahnya membuat semua terpana.
“Kenapa
dia menyanyikan lagu ‘Kasih Tak Sampai’, sih?”
Pertanyaan Hani mengganggu konsentrasiku. Aku juga tertegun, tapi itu kan hanya
sebuah lagu. Bukan berarti lagu itu mengutarakan isi hatinya.
“Terima
kasih teman-teman, kali ini saya ingin menyampaikan sesuatu. Mungkin ini adalah
hari terakhir bagi saya di sini. Karena mulai semester depan saya pindah ke Surabaya
dan saya minta maaf atas semua khilaf baik sengaja maupun tidak. Mohon doa dari
semuanya. Terima kasih.”
Ucapan
perpisahan dari Tasnim telah menghancurkan hari indah itu. Aku terdiam, dada
terasa sesak, hanya air mata yang menetes di pipi tanpa bisa dibendung lagi.
Terdengar suara kecewa para gadis di sana, tapi tak sesakit yang aku
rasakan. Rasa sakitnya itu di sini,
tepat di jantung hatiku. Kehilangan dia seperti kehilangan sumber mata air. Entah bisa aku temukan cara
untuk melanjutan kehidupan tanpa dia atau tidak.
“Ngomong
sekarang atau enggak sama sekali, Pat,” ujar Hani jelas di telingaku.
“A-ku
....” Tak dapat berkata lagi, bibir bergetar, takut ada orang yang melihatku
menangis.
“Tapi,
kamu bakal nyesel seumur hidup!” seru Hani mulai habis kesabaran. Sesaat
kubiarkan Hani menatap dengan rasa tidak sabar. Kuhela napas dalam, mencoba menetralisir
semua perasaan. Tasnim bukan siapa-siapa, dan dia pun takkan pernah tahu aku
siapa. Demi cita-citanya apalah arti diriku?
Kadang sumber mata air itu tak
mudah untuk didapatkan, ada banyak pengorbanan dan perjuangan untuk
mendapatkannya begitu pun kamu ....
***
Tasnim
satu nama yang memiliki arti luar biasa, bukan karena artinya yang memang
sumber mata air. Tapi, seperti sumber kenangan
manis dan pahit yang sulit
dilepaskan dari ingatan.
“Mpat,
tunggu!”
Suara
asing yang males aku ladenin, apalagi dengan panggilan dari si Hani yang booming sejak SMP, sialnya harus satu
sekolah lagi dengannya. Maka panggilan itu pun masih harus berlanjut di SMA.
Hampir saja aku marah ketika aku membalikkan badan. Dan oow ...
“Maaf,
boleh aku ngomong sebentar,” ucapnya yang membuat luluh seketika. Cowok yang ingin kukenal lebih dekat, ternyata kini
tepat di hadapan.
“Aku
harus pergi karena orang tua dipindah tugaskan, sebenarnya udah betah di
sekolah ini. dan salah satunya karena kamu, mengerti kan maksudku?”
Seperti
orang kesambet, aku malah bengong.
“Aku
harap kamu bisa jaga diri baik-baik, suatu saat aku pasti kembali, Tuhan akan mempertemukan
kita dengan cara-Nya.”
Dia
meraih tanganku, kami berpegangan untuk pertama kalinya dan itu hanya secepat
kilat. Ia tersenyum lalu pergi. Kulihat punggungnya semakin menjauh.
Hari
terakhir yang menyisakan tanda tanya besar, apa maksud dari ucapannya?
Sabar itu, aku bisa menunggumu tanpa
butuh hitungan waktu, dan masih bisa sabar saat aku harus melepasmu.
***
Satu tahun kemudian ...
“Aku
rindu kamu, Tasnim.” Aku terguguk dipojokan kamar. Dengan nuansa siluet
berwarna ungu dan lampion yang membuat samar pandangan mata, terhempas ke dalam
kenangan.
Setia,
seperti halnya merpati yang tak pernah ingkar janji. Kini baru aku sadari arti
nama Merpati, sebuah simbol karena orang tuaku mengharapkan kesetiaan. Sebuah
bakti bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk orang-orang yang mencintaiku.
Dan
itu pasti! Nama yang menjadi sugesti dalam hidup. Meski nggak tahu apa buah dari
kesetiaan ini. Aku masih menunggumu, hingga satu saat di mana kita akan bertemu.
Semoga Tuhan mempertemukan dengan cara yang lebih indah.
Laksana
mata air, kamu sumber kehidupan, maka aku adalah simbol kesetiaan yang sejati.
***
Cianjur, Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar