Sabtu, 07 Maret 2015

Tanpamu, Lebih Baik!




Oleh : Nanae Zha


Sakit itu jika mengingat kenangan yang ingin dilupakan namun masih merekat dalam ingatan. Disadari atau tidak semakin lama seperti virus yang menggerogoti hati dan pikiran. Lelah? Pasti iya, lalu kembali menyalahkan waktu yang terbuang percuma. Benci dan sesal menjadi satu, mengapa dia yang harus hadir dalam hidupku?

Hari itu, aku berdiri di sebuah counter HP, hanya sesaat untuk menanyakan berapa harga batre yang ori. Dika dengan senyum manisnya menyodorkan sebuah barang baru yang ia janjikan sangat berkualitas. Seharusnya aku menundukan pandanganku dari tatapan pria-pria yang entah ada apa dalam otak mereka. Tapi, saat itu aku khilaf, mata itu terlanjur menghipnotisku begitu dalam hingga aku terbuai oleh semua ucapan manisnya.

“Dika,” ucapnya tegas dengan tatapan masih memandangku tanpa berkedip, senyum nakal itu jika kuingat lagi sungguh sangat menjijikan.

“Arni,” jawabku sambil membalas uluran tangannya yang jauh lebih putih daripadaku.

Iya, kelemahanku yang seringkali tergila-gila oleh ketampanan aktor dari Korea selalu membuatku menyukai tipe cowok berwajah Chinese. Dika salah satunya.

Perkenalanku saat itu membawaku pada babak baru, mengenal cinta yang dulu hanya bisa dirasakan melalui degupan. Kini, cinta bisa aku rasakan seutuhnya, bukan hanya merasakan atau menatap dari kejauhan namun dia dekat di sisiku, memeluknya. Aku bahkan terlalu berani untuk melakukan itu, tapi apa daya rayuan Dika begitu memesona.

“Aku janji, akan segera melamarmu,” katanya meyakinkan setiap kali ia melancarkan serangan kecilnya. Serangan kecil yang kian lama kian besar, dan semakin besar juga janjinya padaku.

“Nanti kalau kita nikah, kamu mau mas kawin apa?” katanya, “Emas 20 gram cukup? Atau bukankah kamu ingin mobil Honda Jazz berwarna merah itu?”
Aku matre? Iya, wanita mana yang takkan goyah hatinya jika diiming-imingi dengan masa depan terjamin. Ah, dia terus berjanji ini itu. Kini, janji tinggal janji. Satu dua bulan hubungan kami masih baik-baik saja, jika ada hal yang tidak sesuai selalu bisa kita selesaikan. Bulan ketiga dan seterusnya sering terjadi pertengkaran kecil karena hal sepele. Misalnya karena dia telat balas BBM, hal sepele seperti itu memicu pertengkaran besar.

Hingga suatu hari, beberapa kali aku sering memergokinya berbohong saat diminta menjemput dari kampus. Dia bilang ada kerjaan dan banyak pelanggan, jadi tidak bisa meninggalkan toko. Ternyata aku melihat dia jalan dengan orang lain, memang bukan cewek masih teman-temannya, tapi itu salah satu bukti bahwa aku sudah nggak berarti baginya. Aku cukup kecewa!

Di lain waktu, aku melihat ia boncengan dengan seseorang wanita, kali ini benar-benar wanita sama-sama berkulit putih, bermata sipit dengan rambut panjang yang terurai.
“Dia adikku, Ar,” sanggahnya saat kutanyakan tentang siapa gadis yang aku lihat tadi siang di jalan dengan motor matic warna merah itu.
Semakin lama, semakin sering kami bertengkar, akhirnya hingga suatu malam ia meninggalkanku di tengah jalan. Dan tidak pernah berbalik lagi ...
“Dika, aku merindukanmu!”
SMS, telepon dan juga BBM tidak aktif, entah kemana perginya. Hingga aku kehilangan kesabaran lalu kukunjungi counter tempatnya bekerja.

“Wahyu, kamu bisa antar aku nggak ke tempat kerjanya Dika?” tanyaku pada Wahyu, sahabat terbaik yang beberapa bulan ini mulai jarang diajak ngobrol. Sekilas kulihat ekspresi malas dari wajahnya, tapi dia memang sahabat yang baik. Meski setengah terpaksa ia memenuhi permintaanku.

Sesampainya di sana, toko masih tertutup rapat padahal biasanya jam segini mereka sudah buka. Aku menghampiri toko sebelah, Arif penjaga toko yang tampaknya sudah cukup mengenalku dari kejauhan, tersenyum, sedikit kikuk.
“Mas Arif, toko Dika kok belum buka ya?” tanyaku.
“Heh? ehmm ... duh nggak tahu ya, Ar, sorry,” ucapnya dengan ekspresi yang cukup membuatku bertanya-tanya.
“Ya sudah, terima kasih Mas.”
“Ar, tunggu! Tapi, kamu harus tahu ini, datang saja ke Jl. Sudirman no. 18.”

Usia pacaran kami telah lebih dari sepuluh bulan berarti dua bulan lagi hubungan ini genap satu tahun. Rasanya tidak sabar menunggu moment penting itu, tapi kini rasanya sudah tidak penting baginya. Diingat-ingat aku belum pernah menginjakkan kaki di rumah Dika, Arif saja tahu masa aku tidak pernah diajaknya. Tak bisa kutepis rasa kecewa itu. Wahyu masih setia menunggu dengan motor bututnya yang kadang-kadang membuatku malu karena harus ikut mendorong saat mogok.

“Motormu masih bisa diajak kompromi nggak? Kita ke Jl. Sudirman,” ucapku tanpa jeda sebelum ia menjawab ketidak sanggupannya. Ia hanya mengembuskan napas, lalu menyuruhku naik.
Setelah berputar beberapa kali dan belum menemukan alamat yang jelas, akhirnya memutuskan bertanya daripada membuat motor Wahyu tambah ngadat.

“Maaf Bu, boleh tanya alamat ini di mana ya?” tanyaku pada seorang ibu pemilik warung kecil di depan kompleks perumahan.
“O, ini lurus saja Mbak. Itu dari sini juga kelihatan yang lagi ada hajatan itu loh, Mbak.”
“Heh ... hajatan siapa?”
“Lha ya anaknya pemilik rumah toh Mbak, hari ini dia menikah.”
“O, kakaknya Dika yang perempuan ya?” tanyaku mengingat Dika masih punya satu kakak perempuan yang belum menikah.
“Hah? Kakaknya? Dina itu anak satu-satunya kok Mbak.”
“Lho, bukannya itu rumah Dika?”
“Lho ya bukan Mbak, justru Mas Dika itu calon mantu keluarga ini.”
“Apa??!”

Tak lama berselang kulihat iring-iringan pengantin melintas di depanku dan Dika dengan baju manten berada di salah satu mobil itu. Mata kami berpapasan, jantungku serasa berhenti berdetak, napasku sesak, lututku lemas, aku benar-benar hancur. Dika orang yang paling kucintai kini telah mengkhiannatiku. Betapa bodohnya aku memercayai semua ucapannya.
Aku benci dia.

Wahyu, dia hadir di tempat dan waktu yang tepat seperti sebuah wahyu yang membawa petunjuk dan jalan kebenaran. Sahabat yang selalu mendengar keluh kesahku, yang beberapa waktu kemarin sempat kuabaikan, beberapa nasihat darinya karena aku hanya mau mendengarkan ucapan Dika. Dika lah yang paling berhak mengatur ini itu karena dia pacarku. P-A-C-A-R! Iya, PACAR yang aku banggakan, aku lupa status kami yang hanya pacar, seiring berjalannya waktu bisa saja jadi mantan.

Wahyu mengusap bahuku, tak banyak kata keluar darinya. Dia cukup tahu, semua kata-kata itu takkan cukup untuk menghibur. Jadi, ia biarkan saja aku menangis. Aku harus berubah demi seseorang yang akan menerima, dan mencintai keluaraga ini apa adanya dengan segala keurangan dan kelebihannya.
“Kamu terlalu jauh melangkah, Ar. Maukah kamu kembali padaku?”

Sesungguhnya ucapan itu sulit kucerna, telah banyak waktu terbuang percuma. Aku telah terjatuh pada jurang paling nista yang dibenci Allah. Wahyu membimbingku, selalu ada hikmah di balik musibah, persahabatan kami kembali baik. Tanpa pacar kuliah pun lancar, bahkan hidupku jauh lebih baik. Bersyukur Allah membukakan mataku lebih awal.

Mantan memang tercipta untuk dilupakan bukan untuk dikenang.

***

-END-

Cianjur, 08 Maret 2015

Tidak ada komentar: